Photography: Fatahillah Ginting Photography
Suku Mandailing adalah salah satu suku yang ada di Sumatera Utara, yang mendiami sebagian Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal. Adapun unsur yang dominan memengaruhi adat istiadat di suku Mandailing adalah Islam karena zaman dulu berbentuk kesultanan yang menurut silsilahnya berasal dari suku Minangkabau. Ini mengapa bahasa Melayu dengan dialek Minangkabau sangat kental terasa di wilayah-wilayah penyebaran suku Mandailing di Sumatera.
Sama seperti suku Batak, suku Mandailing juga memiliki sistem kekerabatan patrilineal dan menggunakan marga. Hanya saja bedanya dengan suku Batak, umumnya pada Mandailing tidak dikenal larangan perkawinan semarga. Suku Mandailing dominan memeluk agama Islam, ini mengapa dalam pelaksanaan adatnya sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Islam. Misalnya saja, besar kecilnya hajatan adat akan dilihat dari pilihan hewan korban yang dipotong, yaitu ayam, kambing atau kerbau.
Salah satu public figure yang melangsungkan pernikahan adat Mandailing adalah putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution yang berlangsung di Medan pada 26 November 2017 lalu. Bahkan sebelum prosesi pernikahan adat Mandailing digelar, Kahiyang pun menjalani ritual kalianda toru atau pengambilan marga dari pihak ibu sang suami. Maka Kahiyang pun resmi menyandang boru Siregar, baru kemudian bisa menjalani prosesi pernikahan adat Mandailing. Lantas, bagaimanakah prosesi pernikahan adat Mandailing dilakukan? Secara garis besar, prosesi pernikahan adat Mandailing terdiri atas dua unsur, yaitu pranikah dan pernikahan.
Prosesi Pranikah Adat Mandailing
Prosesinya diawali dengan mangaririt boru atau menyelidiki apakah perempuan yang akan dipinang memiliki latar belakang yang baik. Tahapan ini juga dilakukan untuk memastikan kalau perempuan yang akan dipinang belum ada yang melamar. Adalah orang tua laki-laki yang melakukan penjajakan serta menyampaikan kepada orang tua perempuan akan niat mereka untuk meminang. Tapi keluarga perempuan tidak langsung memberikan jawaban, melainkan di pertemuan selanjutnya.
Selesai menjajaki keluarga perempuan, maka dilanjutkan dengan padamos hata, yang merupakan prosesi dalam memperkenalkan calon pengantin laki-laki langsung kepada keluarga calon pengantin perempuan. Di saat inilah keluarga calon pengantin laki-laki menyampaikan niatnya meminang calon pengantin perempuan. Jika keluarga calon pengantin perempuan menerima, maka dilanjutkan dengan prosesi lamaran.
Pada hari lamaran atau patobang hata keluarga pihak laki-laki harus membawa salipi. Ini adalah kantung yang terbuat dari tikar anyaman pandan berwarna putih berbentuk segi empat. Di sekeliling kantung anyaman putih ini dihiasi benang warna-warni yang dominan warna merah, hitam dan kuning. Adapun isi di dalam salipi adalah kapur sirih, pinang, gambir, tembakau dan daun sirih atau orang Mandailing menyebutnya burangir. Pada prosesi ini, keluarga pihak perempuan juga memberikan syarat apa saja yang wajib dibawa calon pengantin laki-laki pada pertemuan selanjutnya, termasuk sinamot (mas kawin) hingga hantaran.
Selesai lamaran, maka prosesi selanjutnya adalah manulak sere atau pemberian hantaran. Keluarga pihak laki-laki harus membawa semua persyaratan-persyaratan yang diminta pihak perempuan. Adapun hantarannya seperti perlengkapan kamar, pakaian lengkap, seperangkat alat shalat, dan kain sarung.
Baru setelah itu didiskusikan tanggal pernikahan, apa saja yang perlu dipersiapkan untuk prosesi pernikahan adat, serta pembahasan mengenai pelaksanaan akad nikah di rumah mempelai perempuan dan pesta adat pernikahan di rumah mempelai laki-laki. Yang menarik pada prosesi manulak sere adalah menggunakan pantun saat berbincang-bincang. Ini yang kemudian menciptakan suasana hangat dan kebersamaan antara kedua keluarga calon mempelai.
Prosesi Pernikahan Adat
Ritualnya diawali dengan akad nikah, di mana pengantin laki-laki diwajibkan membawa salipi. Selesai akad nikah, di sore harinya, kedua pengantin menuju rumah laki-laki untuk melaksanakan pesta adat. Namun sebelumnya, keluarga pihak perempuan akan menggelar makan bersama atau mangalehen mangan pamunan untuk melepas kepergian sang anak. Tentu dilakukan juga tarian tor-tor tanda perpisahan yang dilakukan seluruh keluarga mulai dari kahanggi, anak boru, dan mora.
Adapun prosesi pernikahan adatnya sebagai berikut:
- Memberi gelar : Prosesi pernikahan adat diawali dengan memberikan gelar pada pengantin laki-laki. Adalah para raja-raja adat yang memutuskan gelar yang akan disematkan kepada pengantin laki-laki. Tujuan pemberian gelar ini adalah agar anaknya suatu saat nanti bisa melakukan prosesi adat pernikahan Mandailing.
- Kenduri : Memasak nasi dan gulai yang diiringi dengan doa selamat dan doa arwah.
- Marhaban : Ini adalah prosesi penyambutan kedua pengantin. Penyambutannya diiringi dengan marhaban, pencak silang dan tabuh gondang sambilan.
- Tampung tawar : Kedua belah pihak keluarga, saudara, dan tamu undangan memberikan restu kepada kedua pengantin.
- Doa selamat : Memberikan doa selamat untuk kedua pengantin agar menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
- Tapian raya bangunan : Prosesi ini bertujuan untuk menghapus segala sifat tidak baik kedua pengantin saat masih melajang. Caranya dengan mengikat jeruk purut, pandan, dan daun wanigan pada batang pisang. Ini kemudian disebut silinjuang. Lalu dicelupkan ke dalam air dan dipercikkan ke atas kepala kedua pengantin. Prosesi ini kemudian dilengkapi dengan penyematan gelar adat kepada pengantin laki-laki oleh para raja adat.
- Makan siang dan hiburan : Seluruh keluarga dan tamu undangan makan bersama kedua pengantin dan biasanya disi dengan hiburan dengan manortor yang diiringi tabuhan gordang sambilan.
- Mangupa : Seluruh keluarga memberikan nasehat-nasehat pernikahan kepada pengantin. Yang kemudian ditutup dengan jawaban dari pengantin atas nasehat yang disampaikan.
Dengan selesainya prosesi mangupa, maka kedua pengantin dinyatakan resmi menjadi pasangan suami-istri secara adat Mandailing.
Lambang Kemewahan pada Busana Adat Pernikahan Mandailing
Tak hanya prosesi adatnya yang unik, pakaian adat pernikahan Mandailing juga sangat khas. Baik pengantin perempuan maupun laki-laki, keduanya mengenakan penutup kepala. Pada pengantin perempuan Mandailing, mereka mengenakan bulang yang bentuknya menyerupai tanduk kerbau yang berjenjang sebagai hiasan kepala.
Bulang sendiri terdiri dari beberapa jenis, ada yang tiga tingkat, lima tingkat, bahkan tujuh tingkat. Tingkatan ini menunjukkan besaran adat yang digelar serta jumlah dan jenis hewan korban yang dipotong. Bahan dasar dari bulang adalah emas sepuhan, bahkan zaman dulu terbuat dari logam mas hingga beratnya bisa mencapai delapan kilogram. Adapun bulang melambangkan kemuliaan peran perempuan dalam menjaga keharmonisan keluarga.
Sedangkan pada pengantin laki-laki, penutup kepala yang dipakai adalah ampu yang sejak dulu sudah digunakan para raja Mandailing dan Angkola. Warna hitam pada ampu adalah representasi kharisma sedangkan warna emas menjadi simbol kebesaran keturunan kerajaan.