Pernikahan adat Batak Karo penuh dengan tahapan-tahapan yang tidak dapat dilakukan secara sembarangan karena harus berdasarkan kesepakatan keluarga kedua calon pengantin. Karena bagi masyarakat Karo, secara sosial pernikahan adalah mengawinkan kedua keluarga besar beserta leluhurnya.
Masyarakat Karo mengenal sistem kekeluargaan rakut sitelu atau yang secara harafiah artinya, tiga ikatan kekeluargaan. Ada tiga kelompok besar dalam sistem kekeluargaan Karo, yaitu kalimbubu (pihak pembawa perempuan), anak beru (pihak yang mengambil atau menerima perempuan), dan senina (keluarga satu marga atau keluarga inti). Namun uniknya, sifat kekerabatan ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi. Jadi, pada prosesi adat tertentu seseorang bisa berperan sebagai kalimbubu dan pada prosesi ada yang lain ia bisa berperan sebagai senina atau anak beru. Sebab ketiganya memiliki fungsi masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Ini menunjukkan orang Karo tidak bisa lepas dari ikatan kekeluargaannya.
Maka tidak heran jika prosesi pernikahan adat Karo harus berdasarkan kesepakatan kedua keluarga besar. Ada tiga prosesi besar dalam pernikahan adat Karo, yaitu persiapan kerja adat, hari pesta adat, dan sesudah pesta adat.
Persiapan kerja adat, terdiri atas tiga tahapan yaitu sitandan ras keluarga pekepar, mbaba belo selambar, dan nganting manuk. Pada sitandan ras keluarga pekepar, adalah tahapan perkenalan antar keluarga kedua calon pengantin. Setelah perkenalan barulah masuk ke tahapan maba belo selambar yang secara harafiah artinya adalah membawa sirih selembar.
Maba belo selambar juga menjadi momen menanyakan kesediaan calon pengantin perempuan untuk dipinang oleh calon pengantin laki-laki. Peminangan dilakukan dengan melibatkan orang tua calon pengantin perempuan dan kalimbubu. Adapun senina bisa memberikan masukan kepada kalimbubu.
Jika sudah mencapai kesepakatan, maka masuklah pada tahapan nganting manuk atau membawa ayam. Mengapa membawa ayam? Karena zaman dulu, ayam adalah makanan yang disantap setiap kali ada pertemuan adat. Agenda utama dalam nganting manuk adalah membicarakan besaran pesta adat pernikahan serta besaran uang mahar untuk keluarga calon pengantin perempuan. Dibicarakan juga tentang penentuan hari baik untuk melangsungkan pernikahan. Tapi idealnya, pernikahan tidak boleh lebih dari sebulan setelah nganting manuk.
Hari pesta adat adalah pelaksanaan pernikahan. Pada tahapan ini ada dua pelaksanaan pernikahan, yaitu pelaksanaan secara hukum (akad atau pemberkatan nikah) serta pelaksanaan secara hukum adat. Pada kebudayaan Karo, pernikahan belum sah jika tidak melaksanakan tradisi adat. Ini mengapa tahapan ini termasuk sakral, baik secara agama maupun adat.
Biasanya pesta adat dilakukan setelah prosesi pernikahan secara agama. Kerja adat dilakukan selama seharian penuh di kampung pengantin perempuan. Pada prosesi kerja adat, pengantin perempuan diwajibkan menyerahkan mahar yang diterimanya kepada keluarga sesuai kesepakatan pada mbaba belo selembar. Baru setelah itu, kedua pengantin akan diselimuti dengan uis gatip (kain adat Karo) dengan iringin doa restu dari kalimbubu.
Kemudian kedua mempelai diantar oleh anak beru ke pelaminan yang kemudian disambut serta dibekali dengan nasehat dari ketua adat. Dan sebagai ungkapan rasa gembira atas berlangsungnya prosesi pesta adat, kedua mempelai akan menari atau landek. Maka dengan demikian, resmilah keduanya menjadi suami-istri secara adat dan agama.
Adapun pakaian adat yang dikenakan kedua mempelai sangat didominasi dengan warna merah dan emas. Pengantin laki-laki akan menggunakan setelan jas dengan kemeja yang dilengkapi dengan gatip atau kain penutup kaki yang dipasang di pinggang. Biasanya motif gatip disamakan dengan yang dikenakan oleh pengantin perempuan. Yang juga menjadi ciri khas dari pakaian pengantin laki-laki karo adalah penutup kepala yang biasa disebut bulang-bulang.
Penutup kepala ini biasanya menggunakan kain uis beka buluh yang motif yang tegas untuk menekankan kesan wibawa pada pengantin laki-laki. Aksesoris pelengkap untuk pengantin laki-laki adalah kalung bura sadilaki dan gelang sidilaki.
Sedangkan pakaian pengantin perempuan Karo adalah kebaya dengan lengan panjang dan memakai sarung sungkit yang dililit dari pinggang hingga menutup mata kaki. Kain lilit ini biasanya disebut kampuh dengan motif bunga matahari sebagai simbol sukacita serta harapan berlimpah rejeki.
Pengantin perempuan Karo juga memakai tutup kepala yang menggunakan uis jujung-jujungan yang melambangkan gotonng royong dan kekeluargaan. Tudung ini juga dihiasi dengan daun takis atau biasa disebut sertali layang-layang sebagai simbol kekuatan ikatan kekeluargaan.
Sesudah pesta adat masih ada dua tahapan yang harus dilakukan pengantin, yaitu ngulihi tudung dan ertaktak. Pada tahapan ngulihi tudung, orang tua pengantin laki-laki kembali mengunjungi rumah orang tua pengantin perempuan dengan membawa makanan berupa ikan dan ayam. Ini adalah simbol atas menyatukan pasangan yang sudah resmi menjadi suami-istri dengan kedua keluarga besarnya. Biasanya ngulihi tudung dilakukan 2-4 hari setelah pesta adat.
Baru setelah itu dilakukanlah ertaktak di rumah kalimbubu untuk membicarakan uang yang keluar pada saat pelaksanaan pesta adat. Selain tahapan ini juga dilakukan untuk memberikan penghormatan serta berterima kasih kepada kalimbubu atas suksesnya pelaksanaan pernikahan secara adat.
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN
Photography: ILUMINEN