Sejak awal menjalani hubungan, Elgha dan Agasa merupakan pasangan yang sering berdiskusi untuk memutuskan segala hal. Mereka merupakan pasangan yang memiliki karakter apa adanya dan mengutarakan keinginan secara langsung dalam berkomunikasi. "Keputusan kami untuk menikah merupakan hasil diskusi kami berdua yang kemudian dibicarakan ke orang tua kami. Agasa tidak melamar saya dengan cara yang surprise karena ia cukup kaku, namun pada saat acara lamaran, ia membuat speech yang cukup membuat saya terharu," cerita Elgha yang berprofesi sebagai dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual di salah satu universitas swasta, sekaligus performance artist.
Kondisi pandemi di tahun 2020 ini banyak menggeser rencana pernikahan Elgha dan Agasa. Dimulai dari lamaran yang seharusnya dilaksanakan pada bulan April 2020, namun harus diundur menjadi tanggal 19 Juli 2020. Persiapan akad dan resepsi pernikahan pun hanya dilakukan dalam jangka waktu tujuh minggu saja. "Awalnya kami berencana untuk akad dan resepsi pada bulan Oktober 2020, tetapi orang tua saya merekomendasikan untuk mempercepat pernikahan karena tidak ada yang bisa menjamin keadaan akan seperti apa di bulan Oktober. Akhirnya akad pernikahan diadakan pada tanggal 5 September 2020, sementara resepsi pada tanggal 12 September 2020," tutur Elgha menceritakan proses persiapan pernikahannya di tengah kondisi pandemi.
Photography: Florescene
Photography: Florescene
Photography: Florescene
Photography: Florescene
Photography: Florescene
Photography: Florescene
Photography: Florescene
Photography: Florescene
Photography: Florescene
Photography: Florescene
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Florescene
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Photography: Photos by Papillon
Akad pernikahan pun berlangsung dengan khidmat, dihadiri 40 tamu yang termasuk keluarga dan teman terdekat. Bertempat di Masjid Agung At-Tin, Jakarta, akad nikah digelar dengan mengusung konsep modern. Merespon kemegahan arsitektur masjid yang klasik dan modern, kedua mempelai memutuskan mengenakan busana bertema kontemporer yang berkarakter. "Konsep busana kami mewakili sebuah awal yang baru, sekaligus untuk menambah kesan khidmat ketika akad dilangsungkan," ujar sang mempelai perempuan. Protokol kesehatan pun diterapkan dengan ketat, seperti letak tempat duduk yang berjarak, penyajian makanan yang hanya disajikan oleh dua orang, hingga pengisian buku tamu yang dibuat dalam bentuk digital. Jumlah tamu yang dibatasi membuat beberapa kerabat tidak bisa hadir ke akad pernikahan, namun kedua mempelai sudah mempersiapkan live streaming akad pernikahan mereka di YouTube dan sesi interaktif melalui Zoom.
Meskipun resepsi pernikahan menggunakan konsep new normal dengan dua sesi terpisah, serta jumlah tamu dengan batas maksimum 100 orang, Elgha dan Agasa terbukti dapat melanjutkan rangkaian acara dengan sebuah resepsi bergaya outdoor yang bertempat di kediaman keluarga besar mereka. Keindahan dekorasi bunga-bunga berwarna vibran rancangan Stupa Caspea melengkapi keelokan budaya Banjar yang sarat dalam pernikahan mereka. "Saya memiliki darah keturunan Banjar dari pihak ibu. Saya memakai baju pengantin khas adat yang disebut Baamar Galung Pancaran Matahari, sedangkan setelan Agasa disebut dengan Babaju Kun Galung Pacinan," ujar Elgha. Kedua busana mempelai memiliki nilai sejarah yang sangat bermakna. Baamar Galung Pancaran Matahari sudah dipakai sejak abad ke-17 di Kalimantan Selatan yang merupakan campuran budaya Hindu dan Jawa, serta memiliki ciri khas dua naga di bagian mahkota dan kain pengantin. Dalam tradisi tersebut, naga dikenal sebagai seekor makhluk mistis yang membawa keberkahan. Sementara itu, Babaju Kun Galung Pacinan yang dikenakan Agasa sudah ada sejak abad ke-19 yang merupakan perpaduan budaya Banjar dengan budaya Tiongkok saat pedagang dari Gujarat, Arab, dan Tiongkok masuk ke Kalimantan Selatan. "Busana ini memiliki model gamis dengan jubah panjang tanpa kancing dan dilengkapi dengan kopiah alpe sebagai penutup kepala, cocok untuk Agasa yang merupakan keturunan Aceh dan Sunda-Tionghoa," jelas Elgha. Selain mengenakan pakaian pengantin adat Banjar, kedua mempelai kemudian berganti ke busana pengantin bernuansa modern, disesuaikan dengan acara malam resepsi yang lebih santai.
Bagi Elgha dan Agasa, menikah dengan konsep new normal wedding ini membawa mereka kembali kepada makna yang sesungguhnya dari sebuah pernikahan. "Dengan adanya pembatasan seperti ini, justru kami kembali pada esensi dari sebuah pernikahan, yaitu union dan rites of passage bagi pasangan," tutur Elgha. Mereka tidak merasa tertekan untuk membuat sebuah acara pernikahan yang mewah karena hal terpenting dalam pernikahan yang mereka gelar sudah mencakup hal-hal fundamental dan dapat disaksikan oleh keluarga dan teman terdekat. "Dalam menghadapi segala sesuatu, kita harus seperti air, dapat beradaptasi dengan cepat dan lebih fokus terhadap solusinya. Walaupun berbeda dengan rencana awal, jalani saja dengan bahagia karena kalau kita terlalu keras dalam menghadapi persiapan, kita hanya menambah beban emosional sendiri," saran Elgha kepada pasangan calon pengantin di luar sana yang mempersiapkan pernikahan di tengah kondisi new normal.