Photography: Aing Photography
Pernahkah Anda mendengar sebuah paguyuban masyarakat Tionghoa bernama Cina Benteng? Rupanya, Cina Benteng adalah sebutan untuk komunitas peranakan Tionghoa yang tinggal di sekitar benteng pertahanan peninggalan VOC, tepatnya di wilayah Pasar Lama Tangerang yang juga berdekatan dengan Sungai Cisadane. Hingga saat ini, daerah tersebut masih memperlihatkan pelestarian budaya tradisional melalui arsitektur, bahasa, bentuk kios, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Benteng yang kaya akan kultur leluhur. Beberapa aspek budaya mereka merupakan padu padan antara tradisi Tionghoa, Betawi, dan Sunda.
Nah, salah satu tradisi yang paling menonjol adalah upacara pernikahan Cio Tao, yaitu sebuah prosesi sakral yang menggabungkan akulturasi budaya Tionghoa dengan adaptasi lokal yang khas. Tradisi ini pada dasarnya berasal dari daerah Hokkian Selatan, yang menjadi tempat asal leluhur kaum peranakan di Jawa. Dahulu kala, dikatakan bahwa ada seorang lelaki berdarah Tionghoa yang datang ke Indonesia seorang diri, kemudian ia menikahi gadis asli Indonesia. Peristiwa itulah yang menandai awal mula percampuran budaya yang sekarang dikenal sebagai peranakan Cina Benteng.
Cio Tao adalah sebuah upacara di mana kedua mempelai memohon restu dan perlindungan kepada dewa-dewi dan leluhur mereka. Ritual ini bertujuan untuk memastikan kehidupan pernikahan yang bahagia dan penuh berkah. Para mempelai biasanya akan melakukan sembahyang di depan altar keluarga atau tempat ibadah khusus dengan berbagai sesaji yang sudah dipersiapkan di hadapan mereka. Tradisi Cio Tao sebenarnya adalah ritual pernikahan yang berakar dari keyakinan agama Konghucu, namun kini perannya telah bergeser menjadi upacara pernikahan formal.
Akreditasi: A-Ing Photography
Meskipun tidak lagi berhubungan langsung dengan aspek keagamaan, tradisi ini tetap dipertahankan sebagai bentuk penghargaan terhadap warisan leluhur. Cio Tao menjadi ritual pernikahan khas masyarakat Tionghoa Benteng yang berasal dari suku Hokkian di Tiongkok dan telah diwariskan sejak abad ke-17 di Batavia. Upacara ini meliputi beberapa tahapan, yaitu pinang jodoh, penyerahan mas kawin, perjanjian perkawinan, upacara sembahyang, dan pesta pernikahan.
Tradisi Khusus yang Penuh Makna
Akreditasi: A-Ing Photography
Rangkaian pernikahan adat Cio Tao diawali dengan sembahyang oleh kedua orang tua mempelai kepada Thien, yaitu sosok dewa yang dianggap Mahakuasa, dan kepada para leluhur keluarga. Mereka mempersembahkan berbagai sesaji di altar dan menyalakan lilin merah besar sebagai simbol penerangan untuk anak-anak mereka. Kedua mempelai juga diharuskan untuk berdoa di altar untuk menghormati leluhur yang telah meninggal seraya menuangkan anggur di bawah altar Thien. Selanjutnya, kedua orang tua pengantin wanita memapah putrinya untuk duduk di atas kursi berlapis kain satin merah diatas tetampah sebagai tanda dimulainya upacara Cio Tao. Dalam bahasa Hokkien, 上 头 (Cio Tao) berarti "menyisir rambut". Pada tahap ini, rambut pengantin akan disisir ke bawah secara perlahan yang menandakan transisi pengantin dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Rambut mempelai wanita kemudian dihias dengan aksesori kepala berupa 21 buah kembang goyang yang terbuat dari kuningan, tembaga, perak, atau emas. Disempurnakan pula dengan tusuk konde berbentuk burung hong atau phoenix, sementara bagian depan wajahnya ditutup dengan manik-manik panjang berwarna senada.
Akreditasi: A-Ing Photography
Di hadapan mempelai wanita, ada sebuah gantang merah berukuran besar yang sudah diletakkan berbagai macam barang, seperti cermin, kompas, gunting, sloki, satu buah pedang, sisir, timbangan khas etnis Tionghoa, hingga Kitab 通 书 Thong Si (Hokkian) atau Tōngshū (Pinyin) yang melambangkan ilmu pengetahuan. Semua benda ini memiliki makna akan segala harapan baik dalam mengarungi hidup berkeluarga. Pengantin wanita kemudian diwajibkan mengenakan busana tradisional 红 袄 (Ang O) berwarna merah yang dipadukan bersama 花裙 (Hoa Kun) atau rok lipat berwarna hijau di bagian bawah, sementara mempelai pria akan mengenakan jubah hitam dengan hiasan kepala tradisional Cina berwarna merah. Semua anggota keluarga berkumpul untuk memberikan uang pelita kepada mempelai sebagai simbol dukungan untuk kehidupan rumah tangga mereka di masa depan. Setelah sembahyang, kedua mempelai secara bergantian duduk bersama dua anak muda untuk melaksanakan tradisi makan dua belas mangkuk, jumlah tersebut melambangkan dua belas bulan salam satu tahun. Ada berbagai jenis hidangan dengan rasa yang berbeda-beda, di mana hal tersebut memberi makna lika-liku yang akan dihadapi saat mengarungi bahtera rumah tangga kelak. Orang tua masing-masing mempelai lalu menyuapi mereka dengan nasi untuk mengingatkan jasa orang tua dalam membesarkan mereka.
Akreditasi: A-Ing Photography
Pada tahap selanjutnya, wajah mempelai wanita akan ditutup terlebih dahulu dengan kain berwarna hijau sebelum diantarkan oleh orang tua untuk bertemu kembali dengan suaminya. Mereka disambut saweran uang koin yang dilemparkan ke sekeliling untuk diambil oleh para tamu. Pengantin pria kemudian membuka kerudung yang menutupi wajah istrinya sebagai lambang dimulainya perjalanan pengantin wanita menuju gerbang kehidupan yang baru. Pasangan pengantin lalu saling menyuapi kue dan hidangan penutup tradisional, seperti agar-agar, onde, bika ambon, ronde, dan kue lapis. Upacara Cio Tao diakhiri oleh tradisi minum teh atau yang biasa disebut dengan tea pai untuk menghormati para tetua. Latar musik tradisional berupa gambang kromong kemudian mengalun merdu, mewarnai kehadiran para tamu undangan selama menikmati hidangan yang tersedia.
Akreditasi: A-Ing Photography
Meskipun upacara Cio Tao kini sudah jarang dilakukan karena adanya pilihan pernikahan yang lebih sederhana dan praktis, namun beberapa kalangan masyarakat Cina Benteng Tangerang masih berusaha merajut tradisi sakral leluhur mereka dengan cara mengadakan Cio Tao untuk menciptakan pengalaman yang lebih bermakna sekaligus menjaga nilai tradisi di era modern.