Photography: AKSA Creative
Bainai secara harafiah berarti memakaikan inai, yaitu tumbuhan yang biasa digunakan untuk memerahkan kuku, namun tradisi Malam Bainai bagi calon pengantin Minang tentu lebih dari itu. Malam Bainai merupakan malam terakhir calon pengantin perempuan sebagai seorang gadis lajang, maka dapat dikatakan bahwa Malam Bainai merupakan versi Minang dari sebuah pesta lajang.
Pada awalnya, Bainai dipercayai sebagai suatu cara untuk menghindari malapetaka bagi calon pengantin. Walaupun kepercayaan ini sudah tidak populer, Malam Bainai masih dijalankan sebagai tradisi pernikahan khas Minangkabau. Pada malam ini, sang calon pengantin perempuan, yang disebut dengan anak daro wajib mengenakan busana tradisional bernama baju tokah dan hiasan kepala yang bernama suntiang.
Seperti tradisi pernikahan pada umumnya, tradisi yang berasal dari Sumatra Barat ini terdiri dari beberapa prosesi. Anak daro akan melewati proses mandi-mandi yang menyerupai proses siraman Jawa, namun pada proses mandi-mandi, calon pengantin hanya diberi percikan air. Air ini harus menggunakan daun sitawa sidingin dan dipercikan oleh sesepuh yang berjumlah ganjil. Hal ini karena angka ganjil diasosiasikan dengan hal sakral, seperti sholat 5 waktu untuk kaum Muslim. Percikan terakhir pada sang anak daro dilakukan oleh orang tuanya.
Seusai proses mandi-mandi, anak daro dibawa melewati kain jajakan kuning oleh kedua orang tuanya menuju pelaminan. Proses ini melambangkan perjalanan hidup sang calon pengantin. Kain yang telah dilewati kemudian akan digulung oleh dua saudara laki-laki untuk melambangkan bahwa pernikahan cukup dilalui satu kali saja. Sesampainya di pelaminan, anak daro akan disambut oleh kerabat wanita yang dituakan atau dikenal akan kebijakannya. Malam Bainai juga menjadi kesempatan bagi keluarga dan kerabat untuk memberi petuah-petuah pada sang anak daro. Maka pada proses ini, para saudara wanita yang membubuhkan pacar pada kuku sang calon pengantin akan melakukannya sembari berbagi berbagai petuah pernikahan.
Setiap kuku yang dipakaikan inai pun memiliki arti istimewa. Saat inai dikenakan di kuku jari kelingking, sang anak daro didoakan agar dapat melalui hal-hal sulit yang dihadapi bersama sang calon suami. Inai yang diberikan pada kuku jari telunjuk melambangkan harapan bagi anak daro untuk berhati-hati dalam membuat keputusan, sedangkan inai di kuku jari tengah merupakan harapan agar ia dapat membagi kasih sayang dengan adil. Inai pada kuku ibu jari melambangkan doa agar calon pengantin perempuan menghormati suaminya kelak dan inai pada kuku jari manis merupakan doa agar sang anak daro memiliki kehidupan rumah tangga yang ideal dan cinta yang abadi. Jumlah kuku yang diberi inai pun memiliki arti. Kuku yang dipakaikan inai hanya 9 jari saja, karena bagi masyarakat Minang, 10 jari dianggap sempurna, sedangkan kesempurnaan hanya bisa dimiliki oleh Yang Maha Kuasa.
Tentunya, berbagai unsur kebudayaan Minang juga hadir dalam berbagai prosesi ini, seperti iringan musik saluang.
Maka, Malam Bainai tidak hanya menjadi tradisi menyenangkan bagi perempuan Minang yang melepas masa lajangnya, namun juga momen yang menyentuh bagi sang calon istri di mana ia mendapatkan berbagai petuah dari keluarga dan kerabatnya. Sudah siapkah Anda menjalani tradisi ini? Bagikan pengalaman atau kisah Anda di kolom komentar di bawah ini!