Photography: KALAMDALA
Sebagai salah satu daerah di Indonesia yang kaya akan tradisi, masyarakat Lampung memiliki prosesi pernikahan adat yang sangat khas dan sarat nilai filosofis. Dengan mayoritas penduduknya yang memeluk agama Islam, budaya adat Lampung banyak dipengaruhi oleh corak keislaman yang menyatu dalam setiap upacara adat, termasuk pernikahan. Secara garis besar, masyarakat asli Lampung terbagi menjadi dua adat istiadat, yaitu Sai Batin dan Pepadun. "Sai Batin" memiliki arti "Satu Penguasa (Raja)," sedangkan "Pepadun" berarti "Tempat Duduk Penobatan Penguasa." Kedua adat ini memiliki perbedaan karakteristik, termasuk dalam hal pakaian pengantin yang menggambarkan identitas budaya masing-masing.
Pada adat Pepadun, pakaian pengantin umumnya didominasi warna putih dengan mempelai wanita yang mengenakan siger berbentuk sembilan lekukan. Jumlah tersebut melambangkan adanya sembilan marga yang tengah bersatu. Sedangkan mempelai pria akan memakai kopiah emas. Sebaliknya, pada adat Sai Batin, pakaian pengantin identik dengan warna merah dan ornamen emas. Hiasan kepala mempelai wanita juga dinamakan siger, namun berjumlah tujuh lekukan. Jumlah ini mencerminkan tujuh adok atau gelar pada masyarakat pesisir, sementara mempelai prianya akan mengenakan kopiah tungkus. Pakaian adat Sai Batin biasanya menggunakan kain bludru dengan pola salur, bunga, atau pucuk rebung yang semakin memperkaya keindahan budaya Lampung.
Lantas, bagaimana tahapan prosesi pernikahan adat Lampung dan apa makna mendalam yang terkandung di dalamnya? Mari simak ulasan lengkap berikut ini.
- Nindai atau Nyubuk
Prosesi pernikahan adat Lampung diawali dengan ritual Nindai atau Nyubuk yang menjadi tahap pertama dalam tradisi pernikahan. Pada prosesi ini, keluarga calon mempelai pria akan melakukan penilaian terhadap calon mempelai wanita untuk memastikan kelayakannya sebagai pendamping hidup anak mereka. Penilaian ini mencakup aspek fisik, latar belakang keluarga, serta perilaku atau kepribadian sang gadis. Di masa lampau, proses ini sering kali disertai dengan sebuah tradisi yang disebut begawei atau cacak pepaduan, serta diiringi tahap cangget pilanggan. Dalam sesi tersebut, calon mempelai wanita akan mengenakan pakaian adat Lampung yang khas. Tradisi ini tidak hanya menunjukkan nilai penghormatan terhadap adat istiadat, tetapi juga menjadi simbol awal pengikat hubungan antara dua keluarga. - Nunang
Setelah tahap Nindai, prosesi berikutnya dalam pernikahan adat Lampung adalah Nunang atau melamar. Pada hari yang telah disepakati, keluarga calon mempelai pria akan berkunjung ke kediaman keluarga calon mempelai wanita untuk secara resmi menyampaikan maksud lamaran. Prosesi ini tidak hanya menjadi ajang pertemuan keluarga, tetapi juga simbol keseriusan keluarga mempelai pria dalam menjalin hubungan yang lebih mendalam. Nantinya, keluarga calon mempelai pria membawa beragam barang bawaan yang memiliki makna khusus. Barang-barang tersebut meliputi makanan, aneka kue tradisional, alat merokok, dodol, hingga perlengkapan nyireh ugay acambia (sirih pinang). Jumlah setiap jenis barang bawaan akan disesuaikan dengan status sosial calon mempelai pria berdasarkan tingkatan adat, yaitu marga (bernilai 24), tiyuh (bernilai 12), dan suku (bernilai 6). - Nyirok
Pada hari yang sama dengan prosesi lamaran, dilaksanakan tradisi Nyirok sebagai simbol pengikat antara calon mempelai pria dan wanita. Dalam tradisi ini, calon mempelai pria memberikan tanda pengikat berupa hadiah istimewa kepada calon pasangannya. Hadiah tersebut biasanya berupa perhiasan atau kain Jung Sarat, yang memiliki nilai simbolis sebagai lambang ikatan batin yang akan terjalin antara kedua insan. Prosesi Nyirok ini dilakukan dengan cara yang istimewa. Orang tua calon mempelai pria akan mengikat pinggang calon mempelai wanita menggunakan benang lutan, yakni benang yang terbuat dari kapas dengan warna hitam, merah, dan putih, atau dikenal juga sebagai tridatu. Benang tersebut memiliki panjang sekitar satu meter dan digunakan sebagai simbol doa, agar hubungan kedua calon pengantin senantiasa terhindar dari segala hambatan dan gangguan. Tradisi ini mencerminkan keyakinan masyarakat Lampung akan pentingnya harmoni dan perlindungan dalam membangun ikatan pernikahan. - Menjeu
Prosesi berikutnya dalam pernikahan adat Lampung adalah Menjeu, yang berarti berunding. Pada tahap ini, utusan dari keluarga calon mempelai pria akan mengunjungi keluarga calon mempelai wanita untuk membahas dan mencapai kesepakatan mengenai berbagai hal penting dalam pernikahan. Salah satu poin utama dalam perundingan ini adalah menentukan besarnya uang jujur atau jojokh, yaitu uang yang diberikan calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita. Dalam tradisi Lampung Pesisir, uang jujur berfungsi sebagai modal untuk menggelar resepsi pernikahan serta memenuhi kebutuhan awal rumah tangga pasangan yang baru menikah. Selain itu, perundingan juga mencakup penentuan hari pernikahan, lokasi akad nikah, dan rincian lainnya. Secara tradisional, akad nikah dalam adat Lampung biasanya dilangsungkan di kediaman calon mempelai pria. Namun, seiring perubahan zaman, akad nikah sering kali diadakan di tempat hotel atau ruang serbaguna, menyesuaikan dengan preferensi dan kebutuhan kedua keluarga. - Sesimburan
Dalam rangkaian prosesi pernikahan adat Lampung, terdapat tradisi yang dinamakan Sesimburan, yaitu sebuah ritual siraman yang dilakukan sebelum akad nikah. Tradisi ini bertujuan untuk menyucikan diri calon pengantin wanita sekaligus menolak bala, agar terhindar dari marabahaya hingga hari pernikahan tiba. Sesimburan biasanya dilaksanakan di dekat sumur atau kali, dengan iringan arak-arakan yang penuh kehangatan. Nantinya, calon pengantin wanita akan dipayungi menggunakan payung gober dan diiringi alunan musik tradisional yang dimainkan dengan tabuhan serta taloo lunik. Hal yang membedakan Sesimburan dari prosesi siraman adat lain adalah adanya momen mandi bersama antara calon pengantin wanita dan teman-teman wanita terdekatnya, termasuk para ibu. Mereka akan saling menyimbur atau memercikkan air sebagai bagian dari tradisi, yang melambangkan 'permainan terakhir' calon pengantin sebagai seorang gadis sebelum memasuki kehidupan baru sebagai seorang istri. - Betanges
Salah satu prosesi unik dalam rangkaian pernikahan adat Lampung adalah Betanges, yaitu tradisi mandi uap menggunakan rempah-rempah wangi atau yang dikenal dengan istilah pepun. Rempah-rempah ini direbus hingga mendidih, kemudian diletakkan di bawah kursi yang diduduki calon pengantin wanita. Untuk memastikan uap wangi tersebar merata, calon pengantin wanita akan dilingkari atau ditutupi dengan tikar pandan selama 15 hingga 25 menit, sementara bagian atasnya ditutup dengan tampah atau kain sehingga uap tersebut memenuhi area dan menyerap ke seluruh tubuh sang gadis. Tradisi ini bertujuan agar calon pengantin wanita memiliki aroma tubuh yang harum dan tetap segar tanpa banyak berkeringat di hari pernikahan nanti. - Berparas
Akreditasi: Soe&Su
Selanjutnya, calon mempelai wanita akan didampingi untuk berhias diri. Namun, Berparas di sini tidak hanya sekadar memulas wajah, melainkan mencakup perawatan yang lebih detail, seperti mencukur bulu-bulu halus dan membentuk alis agar sang mempelai terlihat rapi dan menawan. Proses ini juga bertujuan untuk mempermudah penata rias dalam membentuk sitok, yaitu pola riasan khas pada area pelipis dan dahi. Pada malam harinya, acara dilanjutkan dengan tradisi pasang pacar atau inai, di mana kuku-kuku calon pengantin akan dihias dengan pewarna alami. Dengan kata lain, Berparas merupakan tahap penting dalam tradisi adat Lampung untuk memastikan mempelai wanita tampil mempesona di hari pernikahannya. - Bujang Gadis
Sebelum calon mempelai pria dan wanita disatukan dalam ikatan pernikahan, keduanya akan melalui ritual bujang gadis yang merupakan momen pelepasan masa lajang. Masing-masing calon kemudian mempelai mengadakan acara Muli-Mekhanai yang melibatkan para muda-mudi setempat dengan dipimpin oleh kepala gadis dan kepala bujang. Kegiatan Bujang Gadis diisi dengan berbagai hiburan seperti tari-tarian adat dan pertunjukan kesenian, sehingga mampu menciptakan suasana meriah sekaligus khidmat sebagai penutup masa muda kedua insan pasangan. - Akad Nikah
Dalam pernikahan adat Lampung, akad nikah idealnya dilakukan di kediaman mempelai pria. Namun, seiring perkembangan zaman, akad nikah kini juga bisa dilaksanakan di rumah mempelai perempuan, sesuai kesepakatan kedua keluarga. Kedatangan rombongan mempelai pria pun diatur secara terstruktur. Barisan paling depan diisi oleh perwatin adat dan juru bicara, yang disebut pembarep, untuk mewakili keluarga pria dalam bernegosiasi. Saat tiba, rombongan mempelai pria akan dihadang oleh kain appeng, yang menjadi simbol rintangan yang harus dilalui. Setelah tercapai kesepakatan, juru bicara mempelai pria akan menebas appeng dengan alat terapang sebagai tanda diterimanya rombongan. Kemudian usai rintangan dilalui, rombongan mempelai pria diizinkan masuk sambil membawa seserahan khas berupa sirih pinang atau urai cambai, kue kering, lapis legit atau juadah balak, dan sejumlah uang adat, yang melambangkan penghormatan serta harapan baik untuk pernikahan yang akan berlangsung. - Ngurukken Majeu (Ngerukuk)
Setelah prosesi akad nikah, Ngurukken Majeu kemudian menjadi tradisi penting yang harus dilalui pasangan pengantin baru. Pada ritual ini, mempelai wanita akan dibawa ke kediaman mempelai pria dengan menggunakan Rato, yaitu sebuah kereta roda empat tradisional atau biasa disebut sebagai tandu yang diangkat oleh empat orang pria. Sang mempelai pria nantinya akan mengikuti di belakang sambil memegang ujung mata tombak yang dihiasi dengan kelapa tumbuh dan kendi berkepala dua. Makna simbolis dari kelapa tumbuh yang tergantung pada tombak adalah sebagai doa agar pasangan tersebut segera dikaruniai keturunan dan memiliki umur yang panjang. Sementara itu, kendi yang digantung di ujung tombak melambangkan harapan agar pasangan selalu dipenuhi dengan kedamaian hati dan kesetiaan sepanjang hidup, baik di dunia maupun akhirat. Selain itu, Lebayan atau benang setungkal yang digenggam oleh mempelai wanita menyimbolkan harapan agar rumah tangga yang mereka bangun selalu sakinah, mawaddah, dan warrahmah. - Tabuhan Talo Balak
Sebagai penutup dari rangkaian prosesi pernikahan adat Lampung, Talo Balak menjadi ritual yang penuh makna. Ritual ini dilaksanakan di kediaman mempelai pria dengan ditandai tabuhan Talo Balak, yakni seperangkat alat musik tradisional Lampung yang mengiringi acara adat dan tarian. Irama girang-girang yang dihasilkan oleh tabuhan musik, ditambah dengan tembakan meriam, lalu menyambut kedatangan kedua mempelai. Orang tua serta keluarga dekat mempelai pria turut menyambut dengan penuh sukacita. Seorang ibu yang diutus kemudian akan menaburkan beras kunyit yang telah dicampur dengan uang logam sebagai simbol berkah dan keberuntungan. Selanjutnya, mempelai wanita akan mencelupkan kedua kakinya ke dalam pasu (jambangan besar) yang terbuat dari tanah liat. Jamban tersebut beralaskan talam kuningan, lalu disi air, kembang titew, anak pisang batu, daun cocor bebek, hingga kembang tujuh rupa. Ritual ini menyimbolkan keselamatan, kedamaian hati, dan doa agar kedua mempelai dapat membangun rumah tangga yang harmonis. Selanjutnya, kedua mempelai akan dibimbing untuk masuk ke dalam rumah oleh mertua perempuan dan duduk di atas kasur usut yang terletak di depan appai pareppu (kamar tidur utama). Mereka akan duduk bersila dengan posisi lutut kiri mempelai pria menindih lutut mempelai wanita, yang melambangkan harapan agar mempelai wanita kelak selalu taat kepada suami. Prosesi ini mengakhiri serangkaian tradisi pernikahan adat Lampung yang penuh dengan filosofi berharga.