Verbal abuse atau kekerasan verbal pada masa pacaran sering kali tidak disadari. Atau kalau pun disadari, kebanyakan dari korban verbal abuse berpikir bahwa solusinya adalah menikah. Siapa tahu nanti ketika menikah, pasangan akan berubah. "Ini adalah harapan yang salah, karena hampir 80% verbal abuse adalah karakter. Kalau karakter ini tidak ditangani maka jangan harap ada perubahan. Yang terjadi sering kali verbal abuse-nya semakin parah atau melakukan bentuk kekerasan lain seperti fisik, seksual atau ekonomi. Artinya tingkat kekerasannya semakin tinggi," papar Novy Yulianty, M.Psi., Psikolog Klinis dan Konselor Pernikahan kepada Bridestory beberapa waktu lalu.
Red flag atau tanda bahaya terjadinya verbal abuse dalam pacaran.
Ini mengapa penting untuk mengenali red flag atau tanda terjadinya verbal abuse dalam pacaran. Novy pun membagikan beberapa red flag-nya yaitu:
- Mendominasi dalam Pembicaraan
Ketika pasangan selalu punya keinginan untuk mendominasi atau menguasai dalam hal apapun. "Yang paling mudah dikenali adalah ya dalam dominasi dalam pembicaraan." Biasanya, sambung Novy, masa pacaran adalah ajang untuk menyampaikan atau menampilkan kelebihan masing-masing. "Kalau di masa pacaran saja dia sudah tidak mau mendengarkan kita, atau saat curhat dia tidak pernah memvalidasi perasaan kita atau tidak punya empati, sering kali menganggap kita kecil atau tidak berharga, maka sebaiknya hati-hati." - Mengomentari Penampilan secara Berlebihan
Misalnya ketika Anda memakai baju yang disukai lalu pasangan mengomentari dengan verbal yang menghina atau mengejek. - Memberi Julukan yang Berkonotasi Negatif
Tanda verbal abuse dalam pacaran yang sering kali terjadi tapi tidak disadari disebutkan Novy adalah memberikan label atau julukan. "Julukan atau label negatif yang konotasinya buruk atau merendahkan bahkan menghina yang sering kali diklaim sebagai panggilan sayang," imbuh Novy seraya menyebutkan contohnya seperti Si Hitam atau Si Gendut. Atau ketika terjadi adu argumen, pasangan kemudian menyerang Anda, "Dasar bodoh, dasar idiot atau enggak tahu diri banget. Ini adalah bentuk verbal abuse," ucap Novy yang juga sering membagikan tips tentang menjalin relasi yang sehat dengan pasangan melalui Instagramnya @novyulianty. - Memanipulasi Pikiran atau Gaslighting
Verbal abuse ini cukup sering terjadi di masa pacaran. Gaslighting atau memanipulasi pikiran sehingga yang tadinya Anda berpikir rasional atas konflik yang terjadi menjadi punya pikiran tidak rasional yaitu bahwa konflik terjadi karena salah saya. "Ketika gaslighting terjadi sebenarnya yang dimanipulasi bukan perasaan lalu bikin aku baper, melainkan yang dimanipulasi adalah pikiran dari kata-katanya berhasil membuat kita yang tadinya benar menjadi merasa salah. Dampak dari gaslighting ini bisa membuat Anda tidak berguna, berharga hingga masuk ke gejala-gejala depresi," papar Novy yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Bandung ini. - Sering Menyalahkan Anda
Kebiasaan ini menurut Novy sering dipakai seseorang dalam hubungan untuk menyakinkan bahwa setiap masalah yang terjadi adalah salah pasangan. Biasanya kesalahannya berfokus pada hal-hal yang tidak bisa dikendalikan secara wajar. "Misalnya, saya kesal banget karena kamu tadi malu-maluin banget di depan teman-teman aku. Atau kamus duah melakukan hal konyol tadi di depan keluarga aku. Pasangan selalu tidak terima kalau dia disalahkan."
Jika Tetap Memilih Menikahi Pasangan, Sebaiknya Lakukan Juga Hal Ini
Apabila mengalami red flag verbal abuse di atas, apa yang sebaiknya dilakukan? Menurut Novy, selama masih bisa dibicarakan dengan pasangan maka bicarakanlah. Tapi jika sudah dibicarakan pasangan tetap tidak mengindahkan, sebaiknya pertimbangan kembali untuk melanjutkan hubungan atau tidak. "Karena tadi, sifat atau karakter verbal abuse yang muncul di ranah pacaran tidak serta merta dalam kehidupan pernikahan akan berubah. Dalam kenyataannya sering kali tidak berubah malah tingkatan abusifnya menjadi lebih parah. Jenis perilaku kekerasannya lebih akut lagi pada saat menikah," tegas Novy.
Tapi jika Anda tetap memilih untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius seperti pernikahan, Novy pun menyarankan untuk bersama pasangan menemui psikolog atau konselor. "Untuk melakukan konseling pra nikah." Lalu secara bersamaan, dalami juga bagaimana relasi pasangan dengan keluarga, teman-teman dan rekan kerja. "Kalau misalnya memang perilaku itu merata di semua aspek kehidupannya dia kasar, itu dipastikan adalah karakter. Dan karakter itu nanti ketika menikah bukan bertambah lebih baik tapi akan lebih buruk."
Penting juga untuk diketahui adalah ketika Anda dan pasangan melakukan konsultasi dengan psikolog atau konselor, keputusan untuk melanjutkan hubungan tetap ada pada kedua pihak yang menjalani hubungan. Karena psikolog atau konselor tidak boleh memberikan arahan apakah hubungan harus dilanjutkan atau tidak. "Keputusan tetap ada di tangan klien," tegas Novy. Fokus konseling adalah memberikan pemahaman-pemahaman atau diuraikan masalah yang mungkin selama ini tidak pernah disadari atau bisa jadi disadari tapi selalu dipatahkan oleh pasangan.
Konseling juga menjadi penting untuk korban verbal abuse karena sering kali atas kekerasan yang diterimanya membuat rasa percaya dirinya hilang. Jadi fokus utama konselingnya adalah menyadarkan bahwa selama ini semua potensi, kelebihan, harga diri sudah tertutup oleh perilaku abusif pasangan. "Maka goal selanjutnya adalah memunculkan kembali kepercayaan dirinya sehingga dia tahu bahwa dia punya potensi dan semua sisi baiknya. Inilah yang akan membuatnya kembali berdaya, mengambil keputusan dan mengubah keyakinan akan hubungan yang tidak sehat menjadi sehat," kata Novy antusias.
Pelaku Verbal Abuse Biasanya Tidak Puas dengan Dirinya Sendiri
Jika ditelisik lebih dalam mengapa seseorang melakukan kekerasan, baik fisik, psikis, verbal, atau seksual kepada orang yang disayanginya, menurut Novy penyebabnya adalah dorongan untuk memosisikan dirinya lebih superior dari pasangannya. "Dan kalau dihubungkan dengan karakteristik, biasanya orang-orang seperti ini memang dominan. Memegang kendali atas dirinya dan menganggap pasangan sebagai orang yang lebih rendah."Mengapa bisa seperti itu? "Banyak alasannya. Tapi biasanya orang seperti ini identik karena tidak puas dengan dirinya sendiri. Atau biasanya dia punya isu, entah itu berhubungan dengan dirinya atau orang-orang yang signifikan seperti keluarga," jawab Novy. Ada orang yang tidak bisa protes kepada orang tuanya, karena terlalu dominan, akhirnya ketika punya pasangan ia melampiaskan ke pasangannya. "Dia aktualisasikan kebutuhan untuk mendominasi kepada pasangannya!"
Penyebab yang lain adalah mengalami gangguan kepribadian. "Tapi ini harus didiagnosa oleh psikolog klinis atau psikiater. Artinya bukan self diagnose." Maka jika Anda atau pasangan menjadi korban atau pelaku kekerasan, jangan ragu untuk berkonsultasi ke tenaga profesional untuk mendapatkan penanganan yang tepat serta membangun kembali hubungan yang baik dengan diri sendiri dan kepada pasangan.