Photography: Imagenic Photo & Video
Pandemi COVID-19 mengharuskan warga di Indonesia untuk menerapkan social distancing serta mengecilkan skala pernikahan. Tidak sedikit acara pernikahan yang akhirnya ditunda atau dibatalkan. Perubahan-perubahan ini tentunya menyebabkan banyak masalah serta ketegangan dalam diri para calon mempelai serta keluarga mereka yang telah merencanakan pernikahan dari jauh-jauh hari.
Lima pasangan suami-istri ini membagikan pengalaman mereka menghadapi perubahan rencana Hari H karena wabah COVID-19. Mari kita simak kisahnya dalam melewati tantangan ini dan menyelenggarakan pernikahan mereka, dari konsep pernikahan serta bagaimana cara mereka tetap mendukung satu sama lain agar tidak terpuruk dalam stres.
Anisa Agustin & Abdul Wahid Sabililah
1. Bagaimana konsep pernikahan kalian pada awalnya (sebelum pandemi)?
Saya menginginkan konsep keseluruhan adat Jawa tradisional karena saya anak terakhir di keluarga dan satu-satunya anak perempuan. Bahkan untuk musik, saya ingin musik gamelan, bukan penampilan band seperti umumnya. Semua prosesi adat sampai seragam yang lengkap pun akan saya jalankan. Saya juga memilih MC yang sesuai, yaitu seseorang dengan logat Jawa yang kental. Kami pun berencana mengadakan siraman serta midodareni di hari sebelum akad nikah. Kebetulan suami saya memang mempunyai latar belakang pekerjaan di wedding organizer, jadi kami memutuskan untuk memanfaatkan hal tersebut dan melakukan semua persiapannya berdua saja. Kami sudah mulai merencanakan dari tahun lalu, namun persiapan baru mulai berjalan pada bulan September 2019. Saya dan suami yang membuat sendiri budgeting-nya, sampai ketika technical meeting pun yang memberikan presentasi kepada keluarga dan para vendor itu kami sendiri.
2. Seperti apa konsep pernikahan yang akhirnya terealisasikan?
Kami memutuskan untuk tidak mengadakan pengajian yang besar, siraman, maupun midodareni. Pengajian kami adakan dengan keluarga dekat saja. Untungnya, karena kondisi force majeure, vendor-vendor kami memberikan keringanan yang tidak terlalu merugikan biaya yang sudah dibayar. Sekitar seminggu sebelum acara, kami mengumumkan ke semua orang yang kami undang bahwa akan ada penundaan acara resepsi. Kami tetap mengadakan akad nikah, namun jumlah tamu yang diundang terbatas karena ternyata tiga hari sebelum acara, pemerintah mengeluarkan anjuran maksimal 10 orang untuk acara pernikahan, akad maupun resepsi. Kami mengutamakan anggota keluarga, seperti paman dan bibi dari luar kota serta para sesepuh. Untuk mencari venue akad nikahnya cukup sulit, namun akhirnya kita menemukan sebuah masjid yang cocok dan kami pun masih memakai jasa beberapa vendor yang skalanya diperkecil. Kerugian yang kami alami hanya dari bagian undangan karena sudah terlanjur naik cetak. Tamu yang datang sekitar 30-40 orang dan mereka diberi jarak untuk duduk. MC kami selalu mengingatkan agar tamu tidak bersalaman, berpelukan, atau melakukan kontak secara fisik lainnya. Hand sanitizer juga tersedia di berbagai sudut tempat. Penghulu yang menikahkan kami juga sangat pengertian, ia tidak berbicara panjang dan langsung berbicara ke poin utama, yaitu menikahkan kami. Kami akhirnya tidak menggunakan jasa katering, tapi kami menyediakan beberapa camilan. Acara berlangsung cepat, hanya satu jam setengah kemudian ketika selesai, semua tamu langsung pulang ke rumah.
3. Bagaimana perasaan Anda dan pasangan serta masing-masing keluarga dalam menghadapi rencana pernikahan yang berantakan?
Sebelum ada berita mengenai pandemi ini, saya dan suami sangat tenang melakukan persiapan pernikahan hanya berdua saja. Tapi, ketika dihadapkan dengan situasi di mana kami harus mengubah banyak hal karena pandemi, seketika pikiran saya langsung blank. Rasa marah pastinya ada karena saya merasa tidak bisa mengontrol apa-apa. Saya sempat shut down, tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa menangis. Akhirnya kakak-kakak saya yang mengambil alih untuk perubahan-perubahannya. Mereka membantu untuk mengontak semua vendor mengenai protokol gedung, katering, dan sebagainya. Suami saya sama sekali tidak panik walaupun saya sendiri sangat panik dan stres pada saat itu. Ia tetap tenang, memberikan semua skenario yang bisa terjadi dan memikirkan solusi yang baik terhadap setiap skenario tersebut. Ia juga menenangkan keluarga dia karena banyak juga yang ikut panik dengan situasi ini.
4. Apa sisi positif yang dapat diambil dari situasi tersebut?
Ternyata sebuah pernikahan tetap akan terjadi dengan konsep yang sangat sederhana. Mungkin untuk tipikal orang Indonesia, pernikahan itu harus besar dan mewah, tapi ternyata konsep sederhana juga sama bahagianya. Kemudian, konsep yang sederhana itu koordinasi dan komunikasinya lebih mudah. Para vendor yang kita hire semuanya sangat kooperatif, bahkan mereka memberikan dukungan moral. Mereka sangat pengertian dengan perubahan-perubahan yang harus diterapkan. Satu lagi adalah dukungan dari orang-orang yang tidak disangka, dari keluarga sampai sahabat dan teman-teman, rasanya terharu sekali. Contohnya, sahabat suami saya tiba-tiba membantu menggantikan salah satu pihak wedding organizer yang waktu itu tidak bisa kerja karena sakit.
5. Bagaimana kalian sebagai pasangan saling menguatkan dan mendukung satu sama lain dalam kondisi seperti itu?
Harus ada pihak yang bisa membuat seimbang. Bagaimanapun juga, dengan dua keluarga yang harus ditangani ketika semuanya panik, harus ada yang tidak panik. Itulah suami saya, dia tetap tenang dan dia tidak panik. Yang pasti kami tidak putus komunikasi dengan satu sama lain, ada satu hari di mana saya meminta suami untuk di rumah agar membantu komunikasi dan koordinasi dengan keluarga serta para vendor. Intinya harus tenang, jangan kalang kabut, kalau perlu melepaskan emosi, ambil waktu saja untuk melepaskan emosi sampai tenang daripada ditahan dan jadi marah-marah. Setelah itu, baru bisa berpikir rasional dan mulai cari solusi.
Lala Bohang & Ibe Palogai
1. Bagaimana konsep pernikahan kalian pada awalnya (sebelum pandemi)?
Konsep pernikahan awalnya ada prosesi mappetuada (pertunangan dalam adat Bugis) yang sudah dilakukan di bulan Januari 2020, lalu proses akad keluarga perempuan dan laki-laki yang dilakukan pada hari terpisah di bulan April 2020.
2. Seperti apa konsep pernikahan yang akhirnya terealisasikan?
Akad nikah dilangsungkan di presidential suite sebuah hotel di Makassar. Hal ini dilakukan karena prosedur sterilisasi di hotel dan pengaturan jarak antara tamu sudah memiliki regulasi jelas sesuai aturan standar untuk menghindari penyebaran virus. Susunan meja akad di hotel, hidangan, hingga tempat duduk tamu sudah diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi interaksi berdekatan antara tamu. Bahkan, ibu saya menelpon satu persatu tamu yang diundang untuk memastikan kalau selama ini mereka melakukan social distancing. Total undangan hanya 20 orang yang merupakan keluarga dan teman terdekat, sudah termasuk kedua mempelai, orang tua mempelai, dan saksi. Beberapa teman saya yang berdomisili di Jakarta dan Makassar juga ikut bergabung melihat prosesi melalui platform video call yang disiapkan oleh teman-teman saya dan ketiga adik saya yang berdomisili di Jakarta dan Jerman juga bergabung.
3. Bagaimana perasaan Anda dan pasangan serta masing-masing keluarga dalam menghadapi rencana pernikahan yang berantakan?
Jujur, saya tidak pernah memiliki konsep pernikahan impian. Bahkan, kalau boleh dibilang saya kurang nyaman dengan tipe pernikahan konvensional yang besar dengan banyak undangan. Menurut saya, mencari pasangan hidup jauh lebih susah dan manajemen pernikahan itu sudah berat, jadi tidak perlu ditambah dengan persiapan resepsi yang membebani baik secara ekonomi dan psikologis. Kalau dari sisi orang tua dari kedua belah pihak, tentu saja mereka sangat sedih, dan saya sangat bisa memahami hal tersebut. Dari keluarga pasangan saya (mempelai laki-laki) ini adalah pernikahan pertama di keluarga mereka sehingga sangat wajar jika mereka menginginkan pernikahan yang bisa mengundang keluarga, kerabat, dan teman-teman. Dari keluarga saya sendiri, ibu saya adalah orang dengan tipe pekerjaan dan pergaulan yang sangat luas, tentu saja beliau berharap dapat mengundang keluarga, kerabat, dan teman-temannya. Tapi, pada akhirnya tentu saja keluarga dapat berdamai dengan semua itu karena memang kondisi sudah tidak memungkinkan untuk melaksanakan rencana pernikahan seperti semula.
4. Apa sisi positif yang dapat diambil dari situasi tersebut?
Saya berbicara dari sudut pandang saya personal, hal positifnya tentu saja dari sisi efisiensi dana dan tenaga karena persiapan yang mesti dilakukan jadi jauh lebih sederhana.
5. Bagaimana kalian sebagai pasangan saling menguatkan dan mendukung satu sama lain dalam kondisi seperti itu?
Kebetulan saya dan pasangan memiliki konsep yang serupa di kepala kami mengenai acara pernikahan. Justru yang menantang adalah bagaimana menjalani kehidupan setelah menikah di era pandemi seperti sekarang ini. Hal itu jauh lebih penting untuk dipikirkan dan dikhawatirkan.
Joycellyne Stefani & Yugi Kwandi
1. Bagaimana konsep pernikahan kalian pada awalnya (sebelum pandemi)?
Temanya bernuansa kebun, tapi tetap indoor. Kami sudah menyiapkan konsep dekorasi yang menyulap indoor menjadi seperti taman dengan berbagai bunga, daun-daun, dan hiasan yang biasa terdapat di taman-taman. Kami juga menginginkan acara yang tidak mainsteam dengan menampilkan special performance, yaitu menyusun wedding cake yang dikemas dengan iringan penari-penari. Gaun pernikahan juga mengikuti tema simpel, namun tetap fashionable, dengan aksen ranting-ranting agar terdapat unsur garden di dalamnya.
2. Seperti apa konsep pernikahan yang akhirnya terealisasikan?
Akhirnya semuanya kami tunda, tapi tidak kami batalkan. Kami hanya menunda acara resepsi dengan semua dekorasi, performance, makeup artist, gaun, dan lain lain yang sudah saya sebutkan di konsep awal tadi. Akhirnya, kami akhirnya mengadakan pesta kecil untuk acara holy matrimony yang diselanggarakan di rumah saya (mempelai wanita) dengan tamu sekitar 12-15 orang saja. Orang-orang tersebut adalah keluarga inti, fotografer, dan para saksi. Dekorasi juga sangat simpel, kami siapkan semuanya seminggu sebelum acara. Dekorasi paling penting menurut saya adalah wedding arc. Saya membeli gaun pernikahan secara online dan meminta pihak dekorasi untuk membuatkan mahkota bunga agar tetap ada tema garden yang saya inginkan. Walaupun pada akhirnya tema acara ini lebih rustic daripada garden, menurut saya secara keseluruhan acara tersebut tetap memorable.
3. Bagaimana perasaan Anda dan pasangan serta masing-masing keluarga dalam menghadapi rencana pernikahan yang berantakan?
Awalnya kami sangat panik dan ingin nekat tetap mengadakan acara resepsi. Namun, semakin dekat ke Hari H, kami sadar bahwa tidak memungkinkan untuk mengadakan acara resepsi ataupun holy matrimony yang terlalu ramai. Tentunya, kami sangat sedih karena segalanya yang sudah kami siapkan harus ditunda. Untungnya kami berdua saling menguatkan dan mendukung satu sama lain di tiap perubahan yang harus dibuat. Kami juga mulai merelakan segalanya dan mengadopsi pemikiran bahwa acara resepsi hanyalah sebuah pesta yang dapat diselenggarakan kapan saja. Kami ingin membuat yang terbaik dari situasi ini. Maka, kami dengan santai dan bahagia mulai menyiapkan rencana B, yaitu mengadakan acara holy matrimony berskala kecil di rumah. Kami juga beruntung memiliki keluarga yang tidak banyak menuntut mengenai acara kecil ini.
4. Apa sisi positif yang dapat diambil dari situasi tersebut?
Ternyata sisi positif dari situasi ini banyak juga. Sebagai pasangan, kami benar-benar bisa melihat bagaimana pasangan kita bereaksi dan tindakan apa saja yang ia ambil di masa-masa sulit. Tentunya, setelah menikah akan ada banyak tantangan-tantangan lain, maka hal ini menjadi preview untuk hidup kita sebagai pasangan suami-istri nanti. Kemudian, tingkat toleransi kami juga meningkat dan kami menjadi individu yang lebih penyabar dan fokus untuk membuat satu sama lain nyaman dan tenang. Setelah melalui semuanya, kami merasa lega dan sangat bahagia karena kami sekarang sudah sah menikah. Menurut saya, situasi ini membuat semuanya jauh lebih berkesan.
5. Bagaimana kalian sebagai pasangan saling menguatkan dan mendukung satu sama lain dalam kondisi seperti itu?
Waktu itu, saya memang yang lebih emosional, dan saya sangat bangga memiliki pasangan yang dapat menghadapi masalah ini dengan baik. Ia lebih sering memberikan pemikiran positif, mencari poin baik di situasi yang menantang, dan hal tersebut tentunya menenangkan saya dan membuat saya lebih semangat. Keluarga juga sangat mendukung dan saya jadi banyak menghabiskan waktu dengan keluarga.
Kimberly Liem & Calvin Joey Jo
1. Bagaimana konsep pernikahan kalian pada awalnya (sebelum pandemi)?
Rencana awal cukup mengundang banyak orang, sekitar 800-1.000 orang.
2. Seperti apa konsep pernikahan yang akhirnya terealisasikan?
Pernikahan kami harus dipercepat sekitar tiga minggu dari rencana awal dikarenakan peraturan PSBB terbaru. Holy matrimony kami berlangsung sangat sederhana di rumah. Yang menghadiri hanya keluarga inti, romo, dan satu orang fotografer. Tentunya berbeda jauh dengan apa yang kami rencanakan.
3. Bagaimana perasaan Anda dan pasangan serta masing-masing keluarga dalam menghadapi rencana pernikahan yang berantakan?
Kami sudah merencanakan pernikahan ini dari waktu yang cukup lama, sekitar satu setengah tahun yang lalu. Jadi, ketika ada kejadian seperti ini, tentunya kami sangat kecewa karena rencana pernikahan kami benar-benar sudah matang, tinggal menunggu Hari H saja.
4. Apa sisi positif yang dapat diambil dari situasi tersebut?
Sebenarnya, saya sangat bersyukur dengan kejadian ini. Saya benar-benar merasakan apa artinya pernikahan sesungguhnya, tanpa embel-embel yang fancy, seperti ratusan tamu yang mungkin sebagian besarnya tidak kami kenal.
5. Bagaimana kalian sebagai pasangan saling menguatkan dan mendukung satu sama lain dalam kondisi seperti itu?
Saya sangat beruntung memiliki tunangan yang easy-going. Dia memainkan peran besar dalam persiapan pernikahan yang cukup express ini. Ia juga selalu mengingatkan saya mengenai arti pernikahan yang sebenarnya, tidak harus mewah, yang penting bermakna. Dalam kasus kami, cerita ini bisa menjadi sesuatu yang kami turunkan kepada anak serta cucu di masa depan.
Taris Shabrina & Rizaldi Lingga Iswandrata
1. Bagaimana konsep pernikahan kalian pada awalnya (sebelum pandemi)?
Awalnya akad dan resepsi diadakan di hari dan venue yang sama. Kami menggunakan adat Sunda untuk akad, dan adat Jawa untuk resepsinya.
2. Seperti apa konsep pernikahan yang akhirnya terealisasikan?
Akhirnya akad tetap berjalan di waktu yang direncanakan, namun atas keputusan kedua belah pihak mempelai dan keluarga, resepsi diundur sampai keadaan lebih baik.
3. Bagaimana perasaan Anda dan pasangan serta masing-masing keluarga dalam menghadapi rencana pernikahan yang berantakan?
Terus terang kami sedih dan bingung harus berbuat apa karena perkembangan COVID-19 ini membuat situasi sangat tidak menentu. Situasi dari hari ke hari bisa berubah secara drastis, jadi demi keamanan dan kenyamanan semua orang kami, memutuskan untuk menunda acara resepsi. Keputusan ini kami ambil H-9 dari acara karena yang terpenting dari sebuah pernikahan sebenarnya ada;ah akad nikah.
4. Apa sisi positif yang dapat diambil dari situasi tersebut?
Kami bisa saling menguatkan dan saling percaya satu sama lain, bahkan keluarga kami saling menguatkan kami.
5. Bagaimana kalian sebagai pasangan saling menguatkan dan mendukung satu sama lain dalam kondisi seperti itu?
Kami selalu menjaga komunikasi dan menjembatani keinginan dari pihak keluarga dan satu sama lain.
Berdasarkan cerita-cerita di atas, ternyata banyak sekali pasangan yang tetap mendapatkan hari bahagia mereka di kala pandemic COVID-19 ini. Jadi, jangan bersedih, brides. Terdapat banyak sekali cara untuk menyesuaikan rencana pernikahanmu ke situasi saat ini. Cek www.bridestory.com/dirumahaja untuk membantu persiapan pernikahan Anda dari rumah!