Pada saat menikah, tidak hanya mengubah status Anda secara sosial dari lajang menjadi menikah; Tapi juga mengubah status serta kewajiban pajak. Adapun hal yang sering dibahas setelah menikah adalah tentang penggabungan atau pemisahan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Apa sajakah sebenarnya kelebihan dan keuntungan dari suami-istri yang menggabungkan NPWP?
Status Pernikahan Memengaruhi Kewajiban Pajak
Status menikah atau tidak pada perempuan akan memengaruhi kewajiban pajak yang harus dibayarkan ke pemerintah. Seperti dilansir dari www.pajak.go.id secara sistem perpajakan di Indonesia, suami-istri dilihat sebagai satu kesatuan ekonomi. Penjelasan sederhananya adalah penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga dijadikan satu. Tak hanya itu, semua urusan barang yang dikenai pajak serta pemenuhan kewajiban, sebaiknya dilakukan oleh kepala keluarga atau suami.
Tapi jika Anda lebih menginginkan memiliki NPWP sendiri, maka hal ini dimungkinkan dengan beberapa situasi: Pertama, jika suami dan istri hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim. Kedua, Anda dan pasangan sudah memiliki perjanjian penghasilan serta harta. Ketiga adalah saat Anda bersama suami kemudian ingin melakukan pemisahan hak dan kewajiban pajak.
Tak hanya urusan status NPWP yang berubah tapi juga besaran nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Adapun PTKP adalah besaran penghasilan yang menjadi batasan penghasilan yang tidak dikenakan pajak. Artinya untuk Anda yang penghasilannya tidak melebihi nilai PTKP maka tidak akan dikenakan PPh.
Inilah Keuntungan Menggabungkan NPWP dengan Suami?
Lantas bagaimanakah menghitung PPh dari penghasilan yang didapat? Wajib pajak dapat menghitung pengenaan PPh dari penghasilannya dengan panduan tarif progresif sesuai dengan pasal 17 UU No.38 tahun 2008. Berikut detail besaran PTKP berdasarkan status pernikahan:
- Untuk wajib pajak orang pribadi yang tidak kawin (TK/0) besaran PTKP adalah Rp54.000.000
- Tambahan untuk wajib pajak kawin besaran PTKP adalah Rp4.500.000
- Untuk istri yang penghasilannya digabung dengan suami (TK/0) adalah Rp54.000.000
- Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga besaran PTKP adalah Rp4.500.000
Setelah dikurangi PTKP, kita baru bisa menghitung pengenaan PPh atas penghasilan dengan menggunakan tarif progresif sebagai berikut:
- Sampai dengan Rp50.000.000 = 5%
- Di atas Rp50.000.000 sampai dengan Rp250.000.000 = 15%
- Di atas Rp250.000.000 sampai dengan Rp500.000.000 = 25%
- Di atas Rp500.000.000 = 30%
Untuk mendapatkan gambaran yang riil atas penghitungan PPh sebelum menikah dan setelah menikah, berikut contohnya seperti dilansir www.pajak.go.id
Contoh: Anton memiliki penghasilan neto setahun adalah Rp150.000.000, belum memiliki tanggungan maka PPh-nya adalah Rp150.000.000 – Rp54.000.000 = Rp96.000.000. Karena sistem pajak kita menggunakan tarif progresif, maka PPh terutangnya adalah (5% x Rp50.000.000) + (15% x Rp46.000.000) = Rp2.500.000 + Rp6.900.000 = Rp9.400.000. Anton tidak perlu membayar PPh terutang ini karena sudah otomatis dipotong oleh kantornya. Maka yang dilakukan Anton hanyalah melaporkan SPT Tahunannya jika nilai pembayaran PPh adalah nihil.
Penghitungan PPh setelah menikah,
- NPWP suami-istri digabung
Contoh: Anton menikah dengan Zumarnis dan memiliki 2 anak. Adapun penghasilan neto Anton adalah Rp200.000.000 setahun, sedangkan penghasilan neto Zumarnis adalah Rp150.000.000 setahun.
Adapun PKP Anton dengan penghasilan neto Rp200.000.000 – PTKP (K/2) Rp67.500.000 = Rp132.500.000. Ini membuat PPh terutangnya adalah Rp14.875.000. Karena PPh terutang Anton sudah dilakukan pemotongan dari pemberi kerja, maka Anton hanya melaporkan saja melalui SPT tahunan dengan status nihil.
Sedangkan penghitungan PPh Zumarnis adalah penghasilan neto Rp150.000.000 – PTKP (TK/0) Rp54.000.000 = Rp96.000.000. Inilah yang kemudian membuat PPh terutangnya adalah 9.400.000. PPh Zumarnis sudah dipotong oleh pemberi kerja sehingga yang perlu dilakukan adalah melaporkannya di SPT tahunan suami dengan status Nihil.
Keuntungan NPWP digabung adalah PPh terutang suami dan istri tidak mengalami kurang bayar. Artinya laporan SPT dianggap final. Tapi konsekuensi dari penggabungan NPWP adalah suami-istri dilihat sebagai satu kesatuan ekonomis di mata hukum. Artinya setiap kewajiban istri menjadi kewajiban suami, begitu pula sebaliknya.
- NPWP suami-istri dipisah
Karena Anton dan Zumarnis memiliki NPWP yang terpisah, maka keduanya akan dikenakan PTKP K/I/1 sebesar Rp121.500.000. Untuk menghitung PPh-nya, pertama penghasilan keduanya harus digabung yaitu sebesar Rp350.000.000. Lalu PPh terutang gabungan Anton dan Zumarnis dihitung menggunakan tarif progresif (5% x Rp50.000.000) + (15% x Rp178.500.000) = Rp29.275.000.
Setelah menghitung PPh terutang gabungan, maka Anton dan Zumarnis bisa menghitung PPh masing-masing. Untuk PPh terutang Anton adalah (Rp200.000.000/Rp350.000.000) x (29.275.000) = Rp16.728.571. Karena tempat Anton sudah memotong sebesar 14.875.000 maka PPh hutang bayar Anton adalah Rp1.853.571. Karena status laporan SPT adalah kurang bayar, maka wajib untuk dilunasi sebelum menyampaikan SPT Tahunan.
Sedangkan untuk penghitungan PPh Zumarnis adalah (Rp150.000.000/ Rp350.000.0000) x Rp29.275.000 = Rp12.547.428.000. Dan karena tempat kerja Z sudah memotong sebesar Rp9.400.000 maka PPh kurang bayar adalah Rp3.146.429. PPh ini juga harus dibayar sebelum menyampaikan SPT tahunan.
Maka dari perbandingan tersebut, terlihat jelas pemisahan NPWP pada suami-istri akan menyebabkan PPh terutang lebih besar. Ini mengapa sebaiknya suami-istri menggabungkan NPWP.