
Dalam kehidupan rumah tangga, salah satu pertanyaan yang kerap muncul dari pasangan muslim yang telah menikah adalah mengenai kewajiban menafkahi orang tua ataupun pihak mertua. Apakah seorang menantu, baik laki-laki maupun perempuan, wajib memberikan nafkah kepada mertuanya? Untuk memahaminya, penting untuk menelaah dari perspektif fiqih Islam yang memandang kewajiban nafkah dalam konteks yang lebih luas, terutama dalam hal nafkah terhadap istri dan orang tua.
Habib Husein Ja'far Al Hadar dalam sebuah podcast pernah menerangkan soal kewajiban nafkah seorang suami kepada sang istri yang perlu untuk diprioritaskan ketimbang orang tua. "Nafkah itu hanya kepada istri, sedangkan orang tua kita itu (sifatnya) sedekah. Kalau kita membantu mereka, itu hitungannya sedekah. Bahkan, kalau istrinya meminta upah atas menyusui, maka suami wajib memberi upah," tandasnya.
Dalam hukum Islam, memberikan nafkah kepada istri adalah kewajiban mutlak bagi suami. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an, hadits, dan ijma' para ulama. Nafkah istri didahulukan di atas kewajiban menafkahi orang tua jika suami hanya memiliki cukup harta untuk menafkahi satu orang. Hal ini juga dijelaskan dalam fiqih Islam, yang menyebutkan bahwa nafkah istri merupakan imbalan atas ketaatan dan peran istri dalam kehidupan rumah tangga, sedangkan nafkah orang tua lebih bersifat kepedulian atau muwasah.
Dalil dari Al-Qur'an yang menjelaskan kewajiban nafkah bagi istri antara lain adalah sebagai berikut:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf …. (QS. Al-Baqarah: 233)
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (QS. At-Thalaq: 6)
NAFKAH KEPADA ORANG TUA ADALAH KEWAJIBAN ANAK
Di sisi lain, bagaimana dengan kewajiban menafkahi orang tua? Dalam fiqih Islam, nafkah untuk orang tua, terutama ibu, merupakan bentuk bakti dan kepedulian dari seorang anak. Namun, nafkah untuk orang tua tidak sebanding dengan kewajiban nafkah untuk istri. Karena nafkah istri adalah kewajiban yang timbul akibat adanya hubungan mu'awadhah (tukar-menukar). Istri memberikan ketaatan terhadap suami, dan suaminya berkewajiban memberi nafkah sebagai imbalan kepada istri.
Muhammad Najib Al-Muthi'i dalam Takmilatul Majmu' (juz XX, halaman 196) menegaskan bahwa nafkah istri harus didahulukan daripada nafkah kerabat, termasuk ibu. Beliau mengatakan:
وَلِأَنَّ نَفَقَةَ الزَّوْجَةِ تَجِبُ بِحُكْمِ الْمُعَاوَضَةِ فَقُدِّمَتْ عَلَى نَفَقَةِ الْقَرِيبِ كَمَا يُقَدَّمُ الدَّيْنُ
Artinya: "(Nafkah istri didahulukan daripada nafkah kerabat, termasuk ibu), karena nafkah istri menjadi wajib sebab adanya hukum mu'awadhah (tukar menukar antara ketaatan istri dan nafkahnya), maka nafkah istri didahulukan daripada nafkah kerabat (termasuk ibu)." (Muhammad Najib Al-Muthi'i, Takmilatul Majmu', [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad), juz xx, halaman 196).
Bahkan, sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan Imam Nasa'i, menjelaskan urutan kewajiban nafkah yang seharusnya dipenuhi oleh seorang suami, yang pertama kali harus diberikan adalah untuk diri sendiri, kemudian istri, dan baru setelah itu kerabat, termasuk orang tua. Hadisnya berbunyi:
قَال: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَىْءٌ فَلِأَهْلِكَ. فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَىْءٌ، فَلِذِي قَرَابَتِكَ. فَإِنْ
فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَىْءٌ، فَهَكَذَا وَهَكَذَا. يَقُولُ: فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ (رواه مسلم وأبو داود والنسائي، وهذا لفظ مسلم)
Artinya: "Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Mulailah dengan dirimu sendiri, nafkahkan untuknya, lalu jika ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk istrimu. Jika dari nafkah istrimu ada suatu lebihan, maka nafkahkan untuk kerabatmu. Jika dari nafkah kerabatmu ada lebihan sesuatu, maka nafkahkan untuk ini dan itu." Perawi hadits berkata: "Maka nafkahkan kepada orang di depanmu dan di kanan kirimu"." (HR Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa'i. Ini adalah redaksi Imam Muslim).
Jadi, apabila dijabarkan, maka urutan prioritas nafkah dalam rumah tangga, yaitu:
- Diri sendiri;
- Istri;
- Kerabat, termasuk orang tua.
BOLEHKAH ISTRI MEMBERI UANG KEPADA IBUNYA TANPA IZIN SUAMI?
Berbakti kepada orang tua adalah kewajiban utama seorang anak, namun bagaimana jika uang yang diberikan tersebut berasal dari harta suami yang dititipkan kepada istri? Jika uang tersebut berasal dari harta pribadi istri, misalnya seperti uang dari hasil bekerja, warisan keluarga, ataupun pemberian pribadi dari suami, maka hal tersebut diperbolehkan. Istri memiliki hak penuh atas hartanya, termasuk hak untuk memberikannya kepada siapa pun yang ia kehendaki, seperti orang tuanya. Imam Syafi'i dalam Al-Umm menjelaskan bahwa harta yang dimiliki istri sepenuhnya adalah hak miliknya, dan ia dapat menggunakannya sesuai kehendaknya, selama itu tidak melanggar aturan syariat.
قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى : لَمَّا دَلَّ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ عَلَى أَنَّ حَقَّ الْمَرْأَةِ عَلَىالزَّوْجِ أَنْ يَعُولَهَا احْتَمَلَ أَنْ لَا يَكُونَ لَهُ أَنْ يَسْتَمْتِعَ بِهَا وَيَمْنَعَهَا حَقَّهَا وَلَا يُخَلِّيَهَاتَتَزَوَّجُ مَنْ يُغْنِيهَا وَأَنْ تُخَيَّرَ بَيْنَ مُقَامِهَا مَعَهُ وَفِرَاقِهِ
Artinya; "Oleh karena Al-Qur'an dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa hak istri atas suami adalah suami wajib menafkahinya, maka dimungkinkan bahwa suami tidak boleh menikmati istri, menghalanginya dari haknya, dan tidak melepaskannya untuk menikahi orang yang akan menafkahinya. Istri berhak memilih antara tinggal bersama suami atau berpisah." (kitab al-Umm, juz VII, halaman 121)
Namun, jika uang yang digunakan berasal dari harta suami yang dititipkan kepada istri untuk dikelola, maka istri tidak boleh memberikannya tanpa izin suami. Apalagi bila sang istri mengambil uang suami secara diam-diam demi bisa diberikan kepada orang tua, maka hal tersebut diharamkan baginya. Hal ini dijelaskan oleh KH. M. Sjafi'i Hadzami dalam buku 100 Masalah Agama, Jilid V, halaman 213, yang menyebutkan bahwa istri tidak boleh membelanjakan uang suami tanpa seizin suami.
فلا تتصرف أي تنفق (في شيء من ماله إلا بإذنه) أي الزوج
(بل قال جماعة من العلماء إنها لا تتصرف ايضا في مالها إلا بإذنه)
Artinya; "Istri tidak boleh membelanjakan (sesuatu dari harta suami kecuali dengan izinnya) (yakni suami). Bahkan, sebagian ulama mengatakan bahwa istri juga tidak boleh membelanjakan hartanya sendiri kecuali dengan izin suami." (kitab Syarh al-Uqudulujain fi Bayani Huquq al-Zaujain, halaman 8)
Jadi, memberikan uang kepada orang tua tergantung pada asal usul uang tersebut. Jika uang itu berasal dari harta pribadi istri, maka hukum memberi uang kepada orang tua adalah boleh. Namun, jika uang tersebut adalah milik suami, istri harus terlebih dahulu meminta izin dari suami.
APAKAH MENANTU BERKEWAJIBAN MENAFKAHI MERTUANYA?
Seorang laki-laki yang telah menikah memiliki kewajiban untuk menafkahi istrinya. Namun, sang mertua tidak termasuk dalam tanggungan wajib nafkah tersebut. Artinya, seorang istri tidak dibenarkan untuk mengambil harta suaminya untuk diberikan kepada orang tua tanpa izin dari suami. Kewajiban menafkahi orang tua, terutama ibu, merupakan tanggung jawab anak kandung, baik laki-laki maupun perempuan, sebagai bentuk bakti terhadap orang tuanya sepanjang hidup. Meskipun orang tua memiliki hak untuk mendapatkan nafkah dari anak-anak mereka, namun kewajiban ini tidak jatuh pada menantu.
Ibnu Mundzir (318 H) dalam Al-Mughni (8/212) menyatakan:
أجمع أهل العلم على أن نفقة الوالدين الفقيرين اللذين لا كسب لهما، ولا مال، واجبة في مال الولد
Artinya: "Telah sepakat ahli ilmu bahwa nafkah kedua orang tua yang fakir yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki harta adalah sebuah kewajiban pada harta seorang anak. (Al-Mughni: 8/212)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha, Nabi SAW bersabda:
إنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ.» رواه أبو داود.
Artinya: "Sungguh sebaik-baik makanan yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya dan sesungguhnya anak dia adalah bagian dari hasil usahanya." (HR. Abu Dawud)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa orang tua memiliki hak atas harta anaknya, yang berarti mereka diperbolehkan untuk mengambil sebagian darinya. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam hal ini. Pertama, orang tua hanya boleh mengambil harta anak jika tidak menyebabkan kerugian bagi anak tersebut. Kedua, harta yang diambil tidak boleh berkaitan langsung dengan kebutuhan anak, seperti kebutuhan pokok atau biaya hidup yang penting dalam rumah tangganya. Ketiga, orang tua juga tidak boleh mengambil harta tersebut untuk diberikan kepada anak-anaknya yang lain. Para ulama menjelaskan bahwa pemberian uang itu hanya diperbolehkan jika orang tua benar-benar membutuhkan bantuan dalam kondisi yang mendesak.
Demikian pula seorang anak, baik laki-laki maupun perempuan, menjadi wajib menafkahi orang tuanya ketika dihadapkan dalam dua kondisi utama. Pertama, yaitu ketika orang tua berada dalam keadaan fakir dan sudah tidak mampu lagi bekerja; kedua, ketika anak tersebut memiliki kecukupan harta yang lebih dari kebutuhannya sendiri.