Anti, sang mempelai wanita, berasal dari keluarga aristokrat Jawa, di mana Eyang Buyut beliau merupakan pemerintah kota di era kolonial. "Arsip keluarga mereka sangat lengkap dan karena itulah saya ingin memberikan citra elegan dan tampilan keanggunan lama untuk album pre-wedding ini," Rumi sang fotografer dan konseptor menjelaskan.
Pemotretan dilakukan di Kota Tua untuk mendapatkan suasana yang sesuai dengan keseluruhan tema. Untuk dekorasi ruangan, barang pusaka yang berada di rumah sang mempelai wanita pun diboyong ke lokasi demi orisinalitas potret. "Sungguh menarik bagaimana sebuah ruang kosong dapat menjadi hidup dengan kehadiran barang-barang pusaka. Tentu saja, semua barang tersebut diperlakukan dengan hormat dan penuh kehati-hatian," Rumi mengenang.
Mengikuti arahan dari Rumi, Nara dan Anti berpose dengan elemen tradisional yang berbeda-beda. Kembar Mayang, yang merupakan dekorasi pernikahan khas Jawa dan Bali sengaja diwarnai dengan tinta emas dan digunakan sebagai dekorasi ruang dan buket bunga. "Pendekatan yang berbeda namun masih sangat respectful menurutku," Rumi berkata. Mereka pun melakukan reka ulang foto Eyang Buyut dari Anti, Pangeran Ario Mataram dan Putri Pakubuwono X dari Solo.
Satu lagi foto yang menarik perhatian, adalah kedua pasangan berpose di depan jendela bak kelir, dengan Wayang Brayut. Wayang Brayut mengisahkan tentang Dewi Hariti dan Dewa Kuwera, pasangan suami istri yang memberkati setiap pasangan baru dan keluarga muda. "Di potret ini, kedua pengantin berperan sebagai sepasang dalang atau yang tidak mereka sadari, mereka berdua sesungguhnya adalah wayang yang saling dipertemukan semesta," Rumi bercerita.
Tak lupa, busana dan aksesori yang dikenakan keduanya merupakan kebaya panjang kuno dari tahun 1950-1960-an yang masih ditenun menggunakan kawat emas. "Sangat otentik dan memberikan kilau yang berbeda, pilihan menggunakan kebaya asli memang tak pernah salah," Rumi berujar.
