Idealnya, keputusan untuk menikah adalah sekali untuk seumur hidup. Itu mengapa alasan atau motivasi yang memantapkan Anda untuk memutuskan untuk menikah bisa menjadi gambaran apakah pernikahan yang akan dijalankan berlangsung harmonis atau tidak. Karena tidak semua pasangan memiliki cinta sebagai dasar alasan mereka untuk menikah. Ada yang karena tekanan sosial, merasa kesepian, sampai ingin memiliki kehidupan yang lebih terjamin.
Apakah alasan-alasan tersebut termasuk ideal untuk membawa pernikahan pada perjalanan yang harmonis atau sebaliknya? Mari kita telisik alasan apa saja yang mendorong seseorang untuk menikah dan apakah alasan tersebut akan berujung pada pernikahan yang harmonis?
- Menikah karena teman-teman sudah banyak yang menikah.
Ketika Anda semakin sering mendapat undangan pernikahan dari teman-teman, mulai dari teman SD sampai teman SMA, sering kali ini menimbulkan perasaan campur aduk. Biasanya setelah undangan pernikahan dari teman-teman berdatangan, maka pertanyaan "Giliran kamu kapan?" akan turut menyertai. Tentu ini akan menjadi tekanan sosial yang memicu Anda untuk berpikir bahwa solusinya adalah dengan segera menikah.Shauna H. Springer Ph.D., menyebutkan situasi itu akan menciptakan perasaan cemas karena tidak bisa memenuhi tekanan sosial. Tekanan sosial, sambung Springer, menciptakan persepsi bahwa kita belum berhasil dalam hidup jika tidak menikah. Alhasil datanglah kesimpulan bahwa menikah adalah "obatnya". "Ini adalah alasan menikah yang tidak tepat. Karena setelah menikah, bisa jadi perasaan cemas itu tidak hilang malah bisa menciptakan ketakutan-ketakutan baru yang berujung pada pernikahan seumur jagung," papar Springer yang merupakan psikolog dari VA Northern California Relationship Seminar Series. - Menikah karena merasa diperlakukan spesial oleh pasangan.
Loh bukankah setiap orang ingin diperlakukan spesial oleh pasangannya? Bukankah dengan pasangan memperlakukan kita spesial maka pernikahan akan dipenuhi dengan kebahagiaan? Menurut Springer, alasan menikah karena pasangan memperlakukan Anda spesial menunjukkan kalau ada ketidakpercayaan diri. Ada kekosongan di dalam diri yang kemudian Anda percaya bahwa satu-satunya cara untuk merasa spesial adalah dengan menjadi suami atau istri seseorang. "Merasa diperlakukan spesial, tidak membuat Anda siap berkomitmen," tegas Springer. Padahal pernikahan adalah tentang menjaga komitmen. Ditambah dengan adanya kekosongan di dalam diri, maka tercipta peluang untuk selalu mencari perlakuan spesial dari orang lain. Inilah yang kemudian menjadi sangat rentan dalam perjalanan pernikahan.
- Menikah karena alasan pragmatis, biar hidup lebih mudah.
Pernikahan memang akan membuat hidup "terlihat" lebih teratur dan mudah untuk dijalani. Ini mengapa ada saja orang yang alasannya menikah supaya ada yang mengurus dirinya, misalnya akan ada istri yang memasak setiap hari, atau aka nada suami yang akan membelikan rumah. Springer menyebutnya ini adalah alasan pragmatis seseorang untuk menikah. "Bahasa sederhananya, menikah karena bisa menguntungkan Anda." Menurut Springer, alasan pragmatis sah-sah saja dimiliki seseorang. Hanya saja keputusan untuk menikah bukan hanya terfokus pada memenuhi kebutuhan. Ada hal penting juga yang harus dipahami yaitu mengenali sifat calon pasangan. Karena sering kali alasan pragmatis untuk menikah justru berbenturan dengan karakter pasangan yang tidak cocok. Jadi sebaiknya lengkapi alasan pragmatis untuk menikah dengan pengenalan karakter pasangan, plus juga karakter keluarganya. - Menikah karena usia sudah semakin matang.
Konstruksi sosial memiliki usia ideal seseorang memasuki jenjang pernikahan. Untuk perempuan, usia yang dianggap ideal untuk menikah adalah 23 tahun, sedangkan untuk laki-laki adalah 25 tahun. Meski kedua gender memiliki usia idealnya, tapi yang paling sering didesak untuk menikah karena terkait usia adalah perempuan. Alhasil banyak perempuan merasa harus menikah maksimal sebelum memasuki usia 30-an tahun. Jika Anda menikah hanya karena alasan usia, maka ini bisa menciptakan masalah baru saat memasuki mahligai pernikahan. Mengapa? Karena sebenarnya, menikah membutuhkan kesiapan mental dan setiap orang memiliki waktunya sendiri untuk siap menikah. Pernikahan yang tidak didasarkan pada kesiapan mental akan berujung pada pernikahan yang tidak langgeng karena hanya diisi dengan pertengkaran. - Menikah untuk memperbaiki karakter pasangan.
Dalam menjalin satu hubungan, sering kali kita merasa bertanggung jawab atas pembentukan karakter pasangan. Ada saja yang merasa pertengkaran yang sering dihadapi semasa pacaran justru akan terselesaikan ketika menikah. Padahal idealnya, Anda dan pasangan memasuki tahap pernikahan dengan tidak membawa beban pertengkaran yang tidak terselesaikan. Justru ini akan menjadi "bom waktu" yang membuat hubungan Anda dan pasangan semakin saling merugikan. Alhasil pernikahan yang dijalani hanya akan menjadi beban bagi satu pihak.
Pernikahan pada dasarnya adalah perjalanan cinta yang harus diperjuangkan. Meski Anda dan pasangan sudah resmi menjadi suami dan istri, bukan berarti Anda berdua berhenti untuk saling memperjuangkan. Jika dalam perjalanan untuk memperjuangkan cinta diawali dengan alasan yang kurang tepat atau diisi dengan banyak pertengkaran, maka jangan ragu untuk mencari bantuan profesional. Anda dan pasangan bisa berkonsultasi dengan psikolog keluarga dan atau tokoh agama untuk membantu pernikahan Anda kembali menuju pada perjalanan yang harmonis.