Photography: tobature lake toba photography
Seringkali ketika membahas tentang pernikahan adat Batak Toba, persepsi yang pertama muncul adalah harus dilakukan besar-besaran. Maka prosesinya identik dengan mahar atau sinamot yang besar yang digelar di gedung mewah.
Pada masyarakat Batak Toba, setiap siklus kehidupan selalu diiringi dengan serangkaian ulaon adat atau acara adat; Mulai dari pernikahan, kelahiran, memasuki rumah baru, berangkat ke perantauan, hingga kematian semuanya punya prosesi adatnya sendiri. Dan semua prosesi adat tersebut adalah tentang bagaimana sistem sosial masyarakat Batak Toba dalam naungan dalihan na tolu bersama-sama melibatkan diri serta mendoakan agar setiap siklus kehidupan yang tengah dihadapi bisa dilalui dengan baik. Prinsip utamanya dalam menjalankan adat adalah menjalankan adat dengan lasni roha atau kebahagiaan bersama, maka adat do na balga, adat do na metmet yang artinya kecil atau besar adat yang dijalankan tidak akan mengurangi sakralnya nilai adat.
Prinsip yang sama juga semestinya terasa kuat dalam prosesi pernikahan adat Batak Toba. Bukan tentang seberapa besar mahar yang diberikan, melainkan dilakukan dengan penuh rasa kebahagiaan untuk kedua mempelai beserta keluarga besarnya. Karena sesungguhnya pernikahan adat Batak Toba adalah bercerita tentang merayakan sakralnya janji pernikahan dalam kekuatan cinta kasih keluarga besar. Dan inilah rangkaian prosesi pernikahan adat Batak Toba beserta maknanya:
Mangaririt : Secara sederhana artinya adalah memilih calon istri. Biasanya ini dilakukan jika calon pengantin laki-laki sedang merantau dan memercayakan keluarganya untuk mencari pasangan untuknya. Maka ketika calon pengantin laki-laki pulang kampung, perwakilan keluarga akan menemaninya mencari tahu apakah calon istri sesuai kriteria yang diinginkan oleh calon pengantin laki-laki dan keluarganya.
Marhori-hori dinding : Ketika calon pengantin laki-laki sudah mantap untuk menjadikan perempuan pilihannya sebagai calon istrinya, maka ia akan meminta kepada keluarganya untuk meminta ijin kepada keluarga perempuan. Tahap ini belum prosesi melamar secara resmi, masih berupa perkenalan kedua keluarga besar.
Marhusip : Secara harfiah, marhusip artinya adalah berbisik. Ketika kedua keluarga sudah yakin untuk mengantar anak-anak mereka masuk ke jenjang pernikahan, maka dikirimlah perwakilan dari keluarga calon pengantin laki-laki untuk membahas sinamot. Seluruh pembicaraan yang dilakukan pada tahap ini idealnya hanya untuk keluarga inti saja, karena belum ada kesepakatan bersama maka sebaiknya tidak diumumkan secara terbuka. Ini kenapa dinamakan, marhusip karena bersifat rahasia. Tujuannya untuk menjaga kenyamanan kedua calon pengantin beserta keluarganya.
Martumpol : Pada masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen dan bergereja di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) akan melalui prosesi pertunangan di hadapan pengurus jemaat gereja. Prosesi ini juga sekaligus menjadi pengumuman secara terbuka tentang status hubungan kedua calon pengantin. Sehingga jika ada yang keberatan dengan hubungan kedua calon pengantin, bisa menyampaikannya kepada gereja.
Marhata sinamot : Setelah marhusip, perwakilan keluarga calon pengantin laki-laki akan menyampaikan apa yang menjadi keinginan keluarga calon pengantin perempuan. Barulah dilanjutkan dengan lamaran resmi yang melibatkan kedua keluarga besar calon pengantin. Pada prosesi ini juga akan disepakati besaran sinamot, berapa banyak ulos yang akan diberikan, berapa banyak undangan, dan pelaksanaan pernikahan adat apakah dilaksanakan di "halaman" pengantin laki-laki atau pengantin perempuan.
Martonggo raja: Kedua calon pengantin kemudian menggelar rapat besar dengan seluruh keluarga besarnya. Disetiap prosesi adat Batak Toba harus melibatkan unsur dalihan na tolu (hula-hula, dongan tubu, dan boru) maka perlu dikoordinasikan siapa yang membawa ulos, siapa yang menyiapkan dekke atau ikan mas, dan daging.
Marsibuha-buhai: Ini merupakan prosesi awal dari rangkaian pernikahan agama dan pernikahan adat. Marsibuha-buhai bisa dilakukan di rumah pengantin perempuan atau laki-laki, tergantung kesepakatan bersama. Inti dari prosesi ini adalah menghormati pengantin perempuan sebagai boru ni Raja yang bersedia meninggalkan rumah orang tuanya untuk membangun rumah tangga bersama laki-laki pilihannya.
Fotografi oleh Tobature Lake Toba Photography
Kedua pengantin bersama keluarga dekatnya akan makan dan berdoa bersama agar prosesi selanjutnya bisa berjalan lancar. Adapun makanan yang dibawa pengantin laki-laki adalah daging babi atau sapi yang kemudian disebut tudu-tudu sipanganon. Sementara pengantin perempuan menyediakan dekke atau ikan mas yang nantinya akan disuapkan oleh orang tua pengantin perempuan kepada kedua pengantin. Ini menjadi tanda awal ikatan kekeluargaan antara kedua keluarga pengantin.
Manjalo pasu-pasu parbagason: Ini adalah prosesi pernikahan secara agama, yaitu pemberkatan nikah atau ijab kabul. Setelah sah menjadi suami-istri, maka prosesi selanjutnya dilakukan di rumah atau gedung yaitu perhelatan pernikahan adat.
Ulaon unjuk: Pada prosesi pernikahan adat Batak Toba,esensinya adalah memberikan doa dan nasehat kepada pengantin baru untuk selalu teguh mencintai dalam membangun rumah tangga. Doa-doa disampaikan seluruh keluarga besar, baik dari keluarga pengantin laki-laki maupun pengantin perempuan, melalui pemberian ulos, dekke atau daging. Lalu dibagikan juga jambar. Untuk keluarga pengantin perempuan jambar berupa daging dan uang, sedangkan untuk keluarga laki-laki menerima dekke dan ulos.
Adapun salah satu momen yang sangat emosional dari rangkaian pernikahan adat Batak Toba adalah pemberian ulos hela. Ulos bagi masyarakat Batak merupakan lambang cinta yang menghangatkan tubuh. Ulos hela diberikan oleh orang tua pengantin perempuan kepada pengantin. Adapun ulos yang diberikan adalah jenis ragi hotang. Dalam bahasa Batak, hotang adalah rotan yang sering dipakai menjadi bahan pengikat yang kuat. Ketika orang tua pengantin perempuan mengalungkan ulos kepada pengantin, filosofinya adalah mendoakan pengantin agar tetap terikat dalam cinta yang kuat untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
Tak hanya ulos ragi hotang, orang tua pengantin perempuan juga akan memberikan mandar atau sarung kepada helanya (menantu laki-laki) untuk dipakai saat acara-acara adat. Secara harfiah, orang tua pengantin perempuan berharap menantu laki-lakinya akan bertanggung jawab dalam berumah tangga dan menjalani adat.