Photography: Rangga Ispraditya / Pexels
Perang Bubat adalah titik awal terbentuknya mitos bahwa gadis Sunda tidak boleh menikah dengan pria Jawa. Jika tetap menikah, maka perjalanan cinta mereka tidak akan bahagia bahkan berujung perceraian. Bagaimanakah cerita sejarah bisa menciptakan larangan pernikahan antar kedua suku ini?
Berawal dari Cerita Sejarah, Berakhir pada Mitos tentang Pernikahan antar Dua Suku
Perang Bubat adalah perang antara kerajaan Majapahit dengan kerajaan Sunda. Sebenarnya sebelum terjadi perang, ada terselip kisah cinta di dalamnya. Adalah Raja Majaphit, Hayam Wuruk yang jatuh cinta dengan putri Kerajaan Sunda, Dyah Pitaloka Citraresmi. Ia jatuh cinta setelah melihat lukisan Sang Putri yang dibuat oleh seniman Sungging Prabangkara.
Maka Kerajaan Majapahit mengirim surat lamaran kepada Kerajaan Sunda. Ini kemudian direspon dengan Kerajaan Sunda mengirimkan perwakilannya ke Kerajaan Majapahit. Hanya saja ambisi Gajah Mada sebagai Mahapatih Majapahit untuk memenuhi Sumpah Palapa dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara. Ketika itu Kerajaan Majapahit sudah menguasai banyak daerah, mulai dari Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, Papua bahkan sampai Kepulauan Filipina. Ambisi inilah yang kemudian membuat "kisah" percintaan itu berujung malapetaka.
Adalah Gajah Mada yang kemudian menyebut Dyah Pitaloka Citraresmi sebagai upeti dari Kerajaan Sunda untuk Majapahit. Dan di Pesanggrahan Bubatlah pasukan Majapahit melakukan penyerangan kepada rombongan Kerajaan Sunda yang merupakan tamu mereka. Tentu Kerajaan Sunda tidak menerima penghinaan ini dan memilih melawan meski jumlah pasukan mereka tak sebanding.
Serangan yang tidak seimbang inilah yang kemudian membuat seluruh anggota keluarga Putri Dyah Pitaloka meninggal. Ia pun menjadi sangat terpukul hingga melakukan bunuh diri dengan menancapkan tusuk konde tepat di dadanya. Melihat seluruh anggota keluarganya tewas, Pangeran Niskalawastu Kencana yang ketika itu tinggal di istana, lalu diangkat menjadi penerus kerajaan Sunda. Alhasil semenjak itu hubungan kedua kerajaan pun rusak. Niskalawastu bahkan sampai mengeluarkan larangan kepada warganya untuk menikah dengan orang di luar kerajaan.
Akulturasi Budaya Melunturkan Mitos Tersebut
Hubungan yang sudah rusak itu pun dilegendakan secara turun temurun hingga membentuk saling tidak percaya antar kedua kerajaan. Bahkan hingga saat ini meski Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Sunda tidak ada, larangan untuk saling menikah itu menciptakan persepsi kalau gadis Sunda yang menikah dengan pria Jawa maka kehidupan pernikahannya dipastikan tidak akan bahagia.
Itu tentu saja mitos. Karena jika ditelisik lebih jauh, ada daerah perbatasan antara Jawa Barat (suku Sunda) dan Jawa Tengah (Suku Jawa) yang melakukan pernikahan campuran dan hidup rukun. Bahkan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan ini kemudian disebut sebagai orang Jasun atau Jawa Sunda. Misalnya saja pada wilayah Kabupaten Pangandaran yang berada tepat di wilayah perbatasan, banyak masyarakatnya melakukan pernikahan campuran antara suku Sunda dengan Suku Jawa.
Perpaduan budaya atau akulturasi budaya antara suku Sunda dan suku Jawa di wilayah perbatasan inilah yang menjadi bukti bahwa pernikahan antar kedua suku tetap berlangsung rukun dan bahagia. Artinya persepsi yang menyebutkan pernikahan suku Sunda dengan suku Jawa akan berujung pada perceraian adalah mitos belaka.
Karena sesungguhnya hal yang utama dalam memilih teman hidup adalah memiliki kesamaan visi dan misi dalam membangun rumah tangga. Dan setelah menjalani pernikahan, yang kemudian menjadi "motor" dari pernikahan yang bahagia adalah komunikasi yang sehat dengan pasangan. Jadi jangan membelenggu diri dengan perspektif negatif atau mitos-mitos yang beredar. Perkuat keyakinan Anda dan pasangan untuk menikah dengan doa, saling percaya dan komunikasi yang sehat.