Blog / Relationship Tips / Ketika Pasangan Melakukan Verbal Abuse, Anda Wajib Lakukan Ini!

Ketika Pasangan Melakukan Verbal Abuse, Anda Wajib Lakukan Ini!

Color:
Add To Board
ketika-pasangan-melakukan-verbal-abuse-anda-wajib-lakukan-ini-1

Ketika bicara tentang perilaku kekerasan dalam rumah tangga, sering kali hanya diidentikkan dengan kekerasan yang bersifat fisik yaitu yang bisa dilihat secara kasat mata ada bekasnya, ada akibatnya, dan bisa diukur seberapa dalam luka atau kesakitannya. Padahal verbal abuse atau kekerasan verbal juga masuk dalam bentuk dari kekerasan yang bisa menciptakan relasi yang tidak sehat dalam pernikahan.

Karena tidak ada bekasnya secara fisik, sering kali korban verbal abuse tidak menyadari perilaku kekerasan yang dialaminya.

Apakah Itu Verbal Abuse?

Verbal abuse menurut Novy Yulianty, M.Psi., Psikolog Klinis dan Konselor Pernikahan, sering kali tidak terdeteksi. Ini bisa karena korban tidak peka bahwa verbal abuse adalah bentuk kekerasan atau bisa juga dianggap sebagai suatu hal yang lumrah. "Padahal ini tentunya sangat darurat sekali dan harus dihindari," ucapnya kepada Bridestory beberapa waktu lalu.

Novy kemudian menjabarkan secara definisi verbal abuse adalah salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan untuk menyakiti orang lain dengan menggunakan kata-kata dengan tujuan melecehkan kemampuan seseorang atau menganggap orang itu sebagai sumber malapetaka. Sebelum membahas lebih detail bentuk-bentuk dari verbal abuse, Novy mengingatkan untuk membedakan antara adu argumentasi atau diskusi dengan verbal abuse. "Jangan sampai dalam relasi pernikahan tidak membiasakan diri untuk adu argumentasi karena mencari aman terus daripada jujur dengan pasangan akhirnya diam. Ini juga cara penyelesaian konflik yang tidak sehat. Sehingga perlu juga dipahami perbedaan verbal abuse dan perilaku yang bukan verbal abuse."

Pada argumentasi atau diskusi, tidak termasuk perilaku verbal abuse jika ketidaksetujuan disampaikan tanpa menyerang secara pribadi. "Minimal ada keinginan dari kedua belah pihak untuk mendengarkan dan memahami perasaan lawan bicaranya. Serta orientasinya tidak pada menang atau kalah tapi bagaimana bisa memecahkan masalah dengan menemukan solusinya," papar Novy yang juga merupakan dosen di Universitas Muhammadiyah Bandung ini.

Sedangkan pada verbal abuse, sambung Novy, topik pembicaraan akan melebar bahkan tidak jarang mengungkit-ungkit masalah yang sudah lalu atau sudah selesai. "Ini dimunculkan kembali sehingga menambah lagi deretan kalimat-kalimat kasar atau memojokkan yang golnya adalah saya menang, saya bisa mendominasi kamu, kamu tidak bisa melawan saya. Ini yang namanya verbal abuse," tegas Novy.

Jenis-jenis Verbal Abuse

Dari definisi tersebut maka jenis-jenis atau manifestasi dari verbal abuse disebutkan Novy bisa ada dalam beberapa bentuk. "Yang paling sering kita dengar adalah gaslighting." Berdasarkan penelitian yang dilakukan University of Michigan, disebutkan Novy, bahwa gaslighting adalah bentuk dari verbal abuse yang sering dipakai sebagai strategi untuk memanipulasi pikiran dalam hubungan. "Ingat yang dimanipulasi adalah pikiran, bukan perasaan. Jadi aku merasa salah padahal bukan aku yang salah." Gaslighting sendiri bisa menimbulkan rasa tidak percaya diri, tidak berguna, tidak berharga bahkan bisa sampai masuk ke gejala-gejala depresi.

Jenis verbal abuse berikutnya adalah ketika pasangan sering menyalahkan Anda. "Kamu sudah melakukan hal yang konyol di depan keluarga atau temanku. Kamu selalu curiga sama aku, sehingga masalah kita tidak bisa selesai-selesai. Padahal kenyataanya dalam relasi mereka tidak ada keterbukaan, pasangan sering menutupi beberapa hal yang kemudian membuat Anda curiga. Tapi tetap pasangan tidak terima disalahkan."

Dan bentuk verbal abuse yang ketiga adalah memberikan label. "Ini sering kali terjadi tapi dianggap bukan suatu masalah. Misalnya memberikan label yang kadang diklaim sebagai panggilan sayang, seperti Si Hitam, Si Gemuk. Atau ketika terjadi perdebatan, akhirnya salah satu mengejek yang lain dengan sebutan 'dasar bodoh, dasar idiot'." Labelisasi ini tentu membuat seseorang tidak nyaman ketika mendapatkannya dan ini masuk dalam verbal abuse.

Bentuk verbal abuse selanjutnya adalah ancaman. Ini sering dilakukan untuk mendominasi orang lain dengan tujuan mendapatkan kepuasan untuk diri sendiri. Contohnya, Anda sudah tidak nyaman lagi dengan pasangan karena melakukan kekerasan tapi setiap kali Anda meminta untuk pisah, ia kemudian mengancam. "Kamu sadar enggak sih kalau kamu tidak sama aku, kamu tidak akan jadi apa-apa. Ini tentu membuat relasi menjadi tidak sehat." Lalu bentuk verbal abuse yang terakhir adalah selalu mencari pembenaran. "Tipe suka muter-muter ngomongnya untuk mencari pembenaran yang ujung-ujungnya gaslighting. Memanipulasi pasangan dengan pernyataan-pernyataan yang seolah intelek dan masuk akal."

Ini yang Harus Dilakukan Ketika Pasangan Melakukan Verbal Abuse dalam Pernikahan

"Sebetulnya yang harus dilakukan pertama kali adalah menyadari bahwa apa yang dilakukan pasangan termasuk verbal abuse," jelas Novy. Karena sering kali korban verbal abuse tidak menyadari kalau dirinya adalah korban. Biasanya yang aware adalah orang lain dulu karena biasanya korban verbal abuse akan menjadi sangat tidak berdaya.

Novy kemudian menjelaskan ciri seseorang menjadi korban verbal abuse. Pertama adalah menurunnya rasa percaya diri. Korban verbal abuse akan merasakan ini karena kekerasan verbal akan membuat perasaannya terluka. Kalau ini terjadi berkali-kali dalam jangka waktu yang lama, maka korban akan meyakini bahwa apa yang dikatakan pasangan adalah kebenaran. "Bahwa saya memang tidak berguna, memang tidak berharga. Alhasil membentuk konsep diri yang negatif."

Ditegaskan Novy banyak juga korban verbal abuse yang mengalami post traumatic stress disorder atau stres pasca trauma. PTSD terjadi ketika seseorang mengalami ketidaknyamanan yang setara bencana. "Dan ternyata perilaku kekerasan juga memberi dampak trauma yang hampir sama dengan orang yang mengalami bencana alam hebat. Tidak main-main respon orang yang mengalami verbal abuse ini, selain ketidakberdayaan adalah selalu diliputi kecemasan serta selalu waspada karena tidak bisa menebak kapan pasangan akan kembali melakukan verbal abuse."

Jika kemudian Anda menyadari mengalami ciri-ciri diatas, yang dilakukan selanjutnya adalah merunut bagaimana reaksi pasangan setiap kali terjadi pertengkaran. Bagaimana dia memosisikan dirinya. Kalau Anda yang bersalah, bagaimana cara pasangan untuk menegur Anda. Bagaimana cara pasangan membela diri. Apakah pasangan mau meminta maaf ketika bersalah, atau selalu meyakini siapapun yang salah tetap harus Anda yang meminta maaf.

Langkah berikutnya adalah melatih komunikasi asertif. Ini adalah kemampuan seseorang untuk menyampaikan apa yang dipikirkan dan dirasakan seseorang secara wajar tanpa menyakiti orang lain. Artinya ketika Anda tidak suka dengan ucapan pasangan, entah itu dalam bentuk julukan atau perkataan yang memojokkan, atau kesalahan yang kemudian ditimpakan kepada Anda, atau gashlighting, maka Anda harus berani untuk menyampaikannya kepada pasangan. "Aku tidak suka kamu begitu. Lalu sampaikan apa yang Anda inginkan. Kalau kesalahan aku ini, cukup ditegur seperti ini." Kemampuan komunikasi ini memang perlu dilatih bersama-sama.

Novy kemudian mengingatkan bahwa ciri pernikahan yang sehat adalah satu sama lain memosisikan dirinya sama ketika menyatakan pendapat, menyatakan ketidaksukaan dan ketidaksetujuan. "Ada kesetaraan dalam menyampaikan pendapat. Kalau sudah terjadi verbal abuse, karena pelaku selalu ingin mendominasi, maka tidak ada kesetaraan. Maka relasi pernikahan pun menjadi tidak sehat."

Verbal abuse yang dibiarkan juga akan membuat penyelesaian konflik tidak pernah tuntas. Karena merasa setiap kali perilaku verbal abuse dihadapi dengan mendiamkan, ini bisa berpotensi menjadi bom waktu. "Kita mungkin sering melihat pasangan yang sudah puluhan tahun menikah kemudian bercerai padahal selama ini sepertinya biasa-biasa saja. Bisa jadi ini adalah dampak dari ketidakmampuan mereka mencari solusi masalah secara sehat karena harga diri pasangan sudah rendah akhirnya menarik diri dan kemudian masalah yang terjadi tidak pernah selesai malah semakin menumpuk-numpuk."

Hal yang juga penting untuk dilakukan oleh korban verbal abuse adalah mendapatkan konseling dan assessment atau diagnosa. "Artinya tidak hanya konseling tapi juga harus dilakukan diagnosa apakah dampak verbal abuse sudah masuk tahap PTSD atau tahap gangguan kecemasan. Adapun fokus utama konselingnya adalah memunculkan kembali kepercayaan dirinya. "Dia tahu bahwa dia punya potensi sehingga dengan dia tahu semua sisi-sisi baiknya, maka dia akan kembali merasa berdaya dan bisa mengambil keputusan dan mengubah keyakinan akan hubungan yang tidak sehat ini menjadi sehat," pungkas Novy.

Vendors you may like

Instagram Bridestory

Follow @thebridestory on Instagram for more wedding inspirations

Visit Now
Visit Now