Setiap pasangan pasti memiliki ekspektasi tentang dunia pernikahan yang membuat mereka kemudian mantap memilih pasangan sebagai teman sehidup semati. Di awal-awal pernikahan, kompleksnya ekspektasi ketika berhadapan dengan realita belum terasa karena masih dilimpahi bibit-bibit cinta yang bersemi. Biasanya begitu melewati fase honeymoon atau bulan madu, pasangan pengantin baru kemudian menyadari bahwa ekspektasi tentang pernikahan sering kali tidak seindah realitanya. Jika tidak berhasil membentuk titik temu antara ekspektasi dengan realita, bisa jadi alasan Anda memilih pasangan sebagai teman hidup justru menjadi alasan untuk meninggalkannya.
Membentuk titik temu ekspektasi dengan realita pernikahan dalam proses penyesuaian bersama pasangan.
Ketika ekspektasi tidak sejalan dengan realitas kehidupan pernikahan maka beragam pertanyaan penuh keraguan pun muncul. Apakah wajar untuk kemudian mempertanyakan keputusan untuk menikah justru di awal tahun pernikahan?
Psikolog Anak, Remaja dan Keluarga Ayoe Sutomo, M.Psi., menjawab mempertanyakan keputusan menikah di awal tahun pernikahan bisa terjadi jika tujuan pernikahan yang dimiliki tidak kuat. Karena ekspektasinya bertolak belakang dengan realita yang dijalani, akhirnya merasa pernikahan begitu berat dan membebani. "Kok rasanya seberat ini ya. Maka jadi mempertanyakan apakah keputusan menikah yang diambil benar atau tidak, tepat atau tidak orangnya," papar Ayoe.
Ia bahkan menyebutkan alasan awal memilih pasangan untuk menikah justru menjadi alasan untuk meninggalkannya ketika ekspektasi dan realita tidak bertalian. Ia kemudian mencontohkan, "Memiliki pasangan yang pekerja keras awalnya menarik. Tapi kelewat kerja keras sampai bablas, bisa jadi masalah. Ini mengapa pernikahan bukan tentang cinta yang selalu bersemi setiap hari. Jadi penyesuaian itu perlu." Demikian Ayoe menulis di akun Instagramnya @ayoesutomo.
Lantas, bagaimanakah idealnya menyikapi ekspektasi terhadap pasangan yang berbeda dengan realita saat memasuki kehidupan pernikahan? "Jelas perlu disampaikan," jawab Ayoe tegas. Tapi yang kemudian perlu mendapatkan perhatian adalah bagaimana cara menyampaikannya kepada pasangan.
Ayoe yang juga bagian dari Psychology Center Tiga Generasi ini kemudian menyebutkan, penyampaiannya tentu dengan cara yang tidak menyakiti. Artinya baik secara pilihan waktu maupun model komunikasinya nyaman satu dengan yang lainnya. Ia lantas memberikan rumusan, 5 banding 1. Saat kita akan menyampaikan ekspektasi atau apa yang diharapkan dari pasangan, misalnya mau menyampaikan ekspektasi perubahan dari buruk menjadi baik. Coba sampaikan 5 hal baik yang pasangan sudah lakukan selama masa pernikahan, baru kemudian disambung dengan 1 hal yang kita harapkan berubah dari pasangan.
Dan beginilah Ayoe mencontohkan pengaplikasian rumus 5 banding 1 tersebut. "Jadi misalnya kita berterima kasih kepada pasangan karena sudah bekerja keras, sudah membantu mengurus anak, sudah berusaha bikin aku dan anak-anak senang, sudah menyediakan fasilitas di rumah dengan maksimal. Tapi ada satu hal yang aku berharap mungkin bisa kita perbaiki bersama-sama."
Betulkah pasangan yang tidak sesuai ekspektasi atau ekspektasi kita yang justru berubah?
Hal yang juga penting untuk diingat ketika membicarakan tentang ekspektasi vs realita kehidupan pernikahan menurut Ayoe adalah mengukur ekspektasi itu sendiri. "Jangan-jangan pasangan kita tidak pernah berubah kok, bukannya tidak sesuai ekspektasi. Dulu dia masuk ekspektasi kita, tapi sekarang ekspektasi kita yang bergeser atau berganti saat memasuki fase pernikahan."
Ini perlu didalami dan dikenali. Kalau ternyata ekspektasi kita yang berubah maka memang harus dibicarakan. "Kita mengukur ekspektasi kita dan melihat sejauh manakah ini sebenarnya bisa ditoleransikan. Sehingga mindset kita dulu yang harus digeser, menjadi lebih toleran terhadap kondisi tersebut."
Untuk ekspektasi-ekspektasi yang masih tolerable, menurut Ayoe masih sangat mungkin untuk diubah dengan cara komunikasi, diskusi dan dibantu untuk bisa mengubah hal tersebut. Yang juga penting dilakukan adalah apa yang bisa Anda lakukan untuk mengubah pasangan sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan. "Sepanjang ekspektasinya baik dan bertujuan baik untuk keduanya, dan dua-duanya punya value yang kuat untuk mempertahankan pernikahan, mudah-mudahan bisa dilakukan," ucap Ayoe menyemangati.
Intinya sebenarnya adalah saling mendengarkan. Mendengarkan menurut Ayoe adalah juga melihat ada value apa di balik ekspektasi-ekspektasi. "Jangan-jangan ada hal yang memang menjadi value atau belief-nya pasangan yang kemudian menjadi sangat penting untuk dia. Ini kemudian menjadi ekspektasi untuk kita. " Dengan memahami apa di balik ekspektasi pasangan, maka kita bisa memahami dasar pola pemikirannya dan akhirnya jadi lebih terbuka untuk mendiskusikan apa yang bisa dilakukan untuk mengambil jalan tengah atas ekspektasi ini.
Kalau ternyata memang tidak bisa diubah dan menjadi masalah yang abadi, maka caranya menurut Ayoe adalah dengan sama-sama belajar dengan meluaskan ambang toleransi. Karena dalam pernikahan pasti ada yang bisa diubah dan ada yang sulit untuk diubah. "Kalau sulit diubah, harus dimulai dengan meninggikan ambang toleransinya. Bagaimana cara untuk melakukannya, dengan mendengarkan value di balik ekspektasi pasangan."