Blog / Relationship Tips / Dear Couple, Ini yang Harus Diperhatikan tentang Kesehatan Mental Setelah Menikah

Dear Couple, Ini yang Harus Diperhatikan tentang Kesehatan Mental Setelah Menikah

Color:

Add To Board
dear-couple-ini-yang-harus-diperhatikan-tentang-kesehatan-mental-setelah-menikah-1

Ketika rekaman wawancara Oprah Winfrey dengan Meghan Markle dan Pangeran Harry ditayangkan, komentar negatif paling banyak diarahkan kepada Meghan. Banyak orang berpendapat, kalau Meghan tidak sukses beradaptasi dengan keluarga Pangeran Harry, yang notabene adalah keluarga kerajaan yang penuh protokol. Apalagi, ketika Meghan secara terbuka mengakui kalau dirinya mengalami depresi setelah menikah, tidak sedikit orang yang menyebut Meghan bereaksi berlebihan dan hanya ingin mencari perhatian.

Atas segala reaksi yang terjadi, maka isu tentang masalah psikologis pasca menikah pun menjadi sorotan. Bagaimanakah sebaiknya menyikapi friksi yang terjadi dalam pernikahan?


Kemampuan beradaptasi memengaruhi model hubungan dalam pernikahan.

Jika bicara situasi psikologis pasca pernikahan, maka isu utamanya adalah proses adaptasi. Dari yang tadinya punya tujuan hidup sendiri, sekarang jadi tujuan hidup berdua dengan pasangan. Atau yang tadinya punya tanggung jawab sendiri, setelah menikah menjadi berbagi tanggung jawab dengan pasangan. Alhasil, pernikahan pun menjadi tahapan krusial dalam perjalanan hidup. Dan pada prinsipnya, setiap melewati tahapan yang krusial, maka seseorang memang berisiko mengalami guncangan.

"Tapi pertanyaanya adalah, apakah kemudian setelah mengalami guncangan itu maka kita pasti mengalami sakit? Belum tentu. Karena ada orang yang bisa dengan cepat menemukan keseimbangan, namun ada juga yang merasakan after effect atau efek lanjutan setelah guncangan tersebut," jelas dr. Gina Anindyajati, Sp.KJ., kepada Bridestory beberapa waktu lalu.

Psikiatri yang memiliki minat khusus terhadap permasalahan kehidupan keluarga dan pasangan ini kemudian menyebutkan, proses adaptasi memerlukan waktu. Persoalannya dengan adaptasi adalah, ada orang yang bisa beradaptasi dengan mulus, sehingga bisa tumbuh dan berkembang bersama pasangan, tapi ada juga yang adaptasinya bertahap. Proses adaptasi inilah yang kemudian memengaruhi model hubungan dalam pernikahan.

Pada model hubungan yang rigid atau tidak fleksibel, dr. Gina yang berpraktik di Klinik Angsa Merah ini menjelaskan, akan sering berpotensi mengalami pertengkaran yang hebat. "Ini disebabkan tidak terbiasa untuk punya alternatif situasi. Maka ketika berhadapan dengan sesuatu yang baru, cenderung menyebabkan friksi karena meyakini hanya pandangannya saja yang benar."

Lalu, ada juga model hubungan dalam pernikahan yang fleksibel yang biasanya bisa melalui proses adaptasi dengan lebih lancar. Ciri dari model hubungan ini adalah, keduanya mampu melakukan komunikasi yang efektif untuk menyampaikan tujuan, serta mengetahui apa saja yang perlu dilakukan untuk sampai pada tujuan pernikahan yang sudah disepakati. "Model hubungan ini adalah yang ideal, karena justru akan menghasilkan konflik-konflik yang sehat serta membuat sama-sama bertumbuh," tegas dr. Gina.

Tapi ada juga model hubungan yang tidak acuh, yang cenderung menciptakan ketidakpedulian satu dengan yang lain. "Ya sudah, terserah dia saja maunya gimana! - Yang kemudian terjadi adalah, saling menihilkan karena tidak ada pertukaran informasi antara keduanya. Gue-gue, elo-elo." Demikian dr. Gina menjelaskan, seraya menyebutkan model hubungan suami-istri seperti ini tidaklah sehat dan tentu membuat pasangan sulit beradaptasi dan friksi pun tak bisa dihindari.

Dear Couple, Ini yang Harus Diperhatikan tentang Kesehatan Mental Setelah Menikah Image 1

Sebelum menikah, sepakati tujuan menikah dan cara untuk mewujudkannya.

Mengingat adaptasi memengaruhi model hubungan yang akan terbentuk, maka dr. Gina menegaskan, penting untuk paham segala konsekuensi yang akan dihadapi dalam kehidupan pernikahan. Walaupun tidak bisa memprediksi 100 persen, tapi memahami bagaimana kondisi keluarga calon suami bisa menjadi langkah awal untuk menekan terjadinya friksi hebat di awal pernikahan. "Karena sudah tahu gambaran besar keluarga calon suami seperti apa, maka kita bisa mengukur adaptasi seperti apa yang harus dilakukan serta dukungan seperti apa yang Anda butuhkan."

Itu mengapa sebelum sepakat menikah, lagi-lagi dr. Gina menekankan pentingnya mengomunikasikan kepada calon suami atau istri, apa yang kita butuhkan serta mencari jalan keluar dari kebutuhan tersebut. Karena kalau ini tidak dikomunikasikan, maka akan pelan-pelan 'memakan' kita dari dalam. Membuat kita merasa lelah secara emosional, merasa sendirian, frustasi, dan bisa saja membuat seseorang mengalami mood yang depresif."

Proses komunikasi juga yang kemudian akan menciptakan kesepakatan atas tujuan pernikahan. "Karena pernikahan adalah kontrak sosial, maka apapun tujuan pernikahannya, pastikan kedua belah pihak setuju akan tujuan ini." Jika tidak? "Maka berpotensi menimbulkan konflik. Memiliki kesepakatan atas tujuan pernikahan, akan membantu Anda dan pasangan untuk bisa menjalankan pernikahan sesuai dengan 'jalur' yang sudah ditetapkan."

Misalnya, kalau kedua belah pihak sepakat, bahwa tujuan pernikahan adalah karena cinta dan memiliki teman hidup, maka bisa diturunkan dalam tahapan-tahapan yang lebih ril untuk mewujudkan mimpi bersama. "Kalau keduanya sepakat menjalin pernikahan untuk punya teman hidup, maka model hubungan yang dijalani adalah sebagai sepasang teman. Mereka akan mencari cara kehidupan berpasangan selayaknya pertemanan. Bagaimana kemudian membuat keluarga dari pasangan sebagai teman-teman baru untuk Anda."


Membicarakan tujuan menikah secara berkala akan menghasilkan hubungan sehat yang terus bertumbuh.

Lantas, apa yang bisa dilakukan jika ternyata sudah terlanjur menikah tapi menyadari tidak memiliki tujuan pernikahan yang sama? Atau, sudah menikah tapi belum pernah sekalipun membicarakan apa tujuan dari pernikahan yang dijalani?

Memang idealnya kesepakatan atas tujuan pernikahan dibicarakan sebelum janji pernikahan diucapkan. Tapi menurut dr. Gina, tujuan pernikahan juga perlu dibahas dari waktu ke waktu, agar pernikahan yang dijalani menjadi medium untuk sama-sama bertumbuh. Karena sebagai individu, Anda dan pasangan juga akan berkembang. Anda yang sekarang baru menikah, pada 5 atau 10 tahun ke depan pasti sudah menjadi orang baru karena secara karier mencapai posisi baru, atau secara sosial memiliki peran baru. Tentu ini akan menimbulkan nilai-nilai baru yang tentu berpengaruh terhadap tujuan pernikahan.

"Maka sebaiknya, dalam kehidupan pernikahan perlu dilakukan refleksi dan evaluasi bersama. Hubungan jangka panjang seperti pernikahan, haruslah bertumbuh karena orang-orang yang menjalaninya juga bertumbuh. Kalau hubungannya tidak bertumbuh, akan jadi aneh. Secara individu kita menjadi besar tapi secara hubungan pernikahan kita terkungkung dalam ruangan yang kecil. Di sinilah konflik menjadi besar," papar dr. Gina antusias.

Ketika Anda merasa puas dengan kualitas pernikahan yang dijalani, maka risiko terjadinya mood depresif akan lebih kecil terjadi. Adapun gejala dari mood depresi adalah perasaan sedih dan kosong untuk periode waktu yang cukup lama. Jika berbagai upaya telah kita lakukan secara mandiri untuk menghilangkan perasaan sedih dan kosong ini, tapi belum menghasilkan perubahan, apalagi, jika sudah sampai mengganggu fungsi fisik dan sosial Anda, maka bisa jadi ini adalah gangguan depresi. "Jika sudah pada tahap ini, maka jangan malu untuk mencari bantuan profesional," pungkas dr. Gina.

Vendors you may like

Instagram Bridestory

Follow @thebridestory on Instagram for more wedding inspirations

Visit Now
Visit Now